Kamis, 25 April 2013

[Laporan Perjalanan] Chatuchak Weekend Market ~ Bangkok #Day3

jual bantal foto Laporan #Day1 baca di sini
Laporan #Day2 baca di sini
Laporan #Day3 ~ Ancient City baca di sini

Beres jungkir balik dan koprol dengan berbagai gaya berlatar belakang landmark di Ancient City, akhirnya kita harus menghabisi kebersamaan itu *Halah*. Sudah tengah hari bolong, dan keringet sudah banjir sodara-sodara. Sepedaan keliling-keliling di bawah terik matahari Bangkok dengan suhu 40 derajat cooooy ... berasa lagi sauna di alam terbuka. Sedaaaap .... gosong-gosong dah.

Untungnya (gosong begitu masih aja untung), banyak tempat jual minuman di area Ancient City. Warung resmi ya, bukan pedagang asongan. Jadi, entah sudah berapa botol air mineral yang kita telen ... *airnya, bukan botolnya!* Gileee ... baru kali itu saya merasa minum yang bener-bener enak. Mungkin sangking hausnya, terus dikasih air dingin. Nyeeesss ... banget. *enyak-enyak-enyak* Harga minumnya 10 baht (Rp. 3.400,-) untuk satu botol isi 500 ml. Botolnya pun unik, karena bermerk dan bergambar Ancient Siam. Jadi, selain jualan tiket masuk, pengelola pun jualan air! Hebaaat ... sebagai kenang-kenangan, botol itu akhirnya saya bawa pulang. *niat amat? Biarin!*

Pasukan Horey-Horey di Ancient City
Di toilet samping penjualan tiket setelah keluar arena, akhirnya kita ganti kostum. Tarrraaaa .... wajah-wajah kuyup penuh keringet pun berubah kembali menjadi wajah ganteng, cantik, dan rupawan *Praaangg! Kaca pecah!*. FYI, ransel kita masing-masing tuh ya berisi baju ganti, karena moto kita adalah; “Di setiap lokasi yang beda, kostum pun harus beda, biar fotonya asyik!” *tepok tangaaaan*

Lalu, ke manakah kita siang ini? Yang jelas perut sudah ajojing sedari tadi, tapi tidak terlihat tanda-tanda tempat makan yang aman di sekitar lokasi. Jadi, kita putuskan untuk puasa makan dulu sejenak dan tenggak air banyak-banyak *glek-glek-glek*. Entar aja nyari makannya di Chatuchak. Sekarang saatnya mencari supir taksi dan gebukin rame-rame! minta anterin ke stasiun BTS terdekat.

Ternyata liburan ke Bangkok nggak perlu jago-jago amat bahasa Inggris. Buktinya, pas ngobrol sama supir taksi yang ada di parkiran (khusus taksi), tetep aja bahasa Tarzan yang dipake. Minta dianter ke stasiun Bearing aja harus jungkir balik dulu karena jawabannya ‘hah, heh, hoh’ doang. Kita sampe ngeluarin peta wisata Bangkok dan ngebentangin di depan para sopir yang berkerumun. Itu petanya juga dodol, masa Ancient City nggak ditongolin di situ?

“Where are we, now?” tanya Mba Erna sambil nepuk-nepuk peta. Puk! Puk! Puk! Maksudnya, biar tahu di peta tuh kita ada di sebelah mana, dan bisa nyari lokasi wilayah terdekat yang ada stasiun keretanya.
“^&*_(&^$%%$%*@#>“HAH?”
“@%$%^&&$)_)&>?>^&%#.”
Lo – gue – end! Bodo, ah!

Akhirnya kita kembali ke kata kunci awal. “BEARING. Take us to Be-ar-ing sta-ti-on! BE-AR-ING!”
Sopir-sopir taksi langsung pada bisik-bisik lagi, mungkin lagi pada muji kalau kita ini ganteng-ganteng dan cantik semua. *ciyaaaaaat*. Sampe akhirnya mereka ngangguk-ngangguk seolah sedang menyepakati sesuatu. Hmmm ... tercium gelagat yang tidak baik  nih. Saya pun segera meraba ujung pedang yang terselip di pinggang, bersiap untuk serangan tanpa bayangan yang mungkin akan dilancarkan. *kenapa jadi cerita silat gini?*

“Oke .. oke ... Bang Na.” Kata salah seorang sopir dengan intonasi tidak jelas. Saya aja baru tahu kalau dia ngomong Bang Na pas nanti tiba di tujuan.
“Bearing, oke?”
“Oke ... train ... Bang Na. Oke ... Bearing.”
Meski masih agak ragu, kita akhirnya naik taksi. Lihat aja kalau dia mau macem-macem, belum tahu siapa kita, ya? *Maju Kang Odoy!*

Sepanjang jalan saya bener-bener bersiaga penuh. Saya takut diculik, disekap, lalu dikirim ke Korea untuk dijadikan Boyband *tabok*. Mata saya melirik ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, bolak-balik kayak penari Bali. Turun dari taksi pasti saya bisa nari tari Pendet!

Seperti halnya berangkat ke Ancient City tadi pagi, pulangnya pun agak lama. Yaiyalah, kan jalannya itu-itu juga! Dan saya langsung tersenyum riang gembira saat melihat bangunan-bangunan beton di tengah jalan. Itu salah satu pertanda adanya jalan kereta di atas sana. Saya yakin, soalnya tidak mungkin pemerintah Thailand mendirikan apartemen di tengah jalan! Gelo! Taksi pun berhenti, dan saya melihat papan petunjuk di pinggir jalan “BTS Bang Na” plus tanda panah ke atas! Alhamdulillah .... saya nggak bakalan jadi anggota Boyband *sujud syukur*

Ternyata, alih-alih ke Bearing, sopir taksi itu mengantar kita ke stasiun Bang Na, perhentian BTS kedua setelah Bearing. Fyuuuuh .... makanya ngomong yang jelas dong, ah! Etapi, ongkos taksi dari Bearing ke Ancient City, dan Ancient City ke Bang Na itu sama aja; 160an Baht. *yaaah ... penumpang kecewa*

So, ke manakah kita sekarang, Dora? Chatuchak! Hyuuuuk .... lanjuuut.

Sisi lain Chatuchak yang ramai
Ancient City dan Chatuchak itu ibarat putri yang ditukar. Yang satu ada di mana, yang satu lagi ada di mana. Yang menghubungkan mereka hanya rel kereta yang terbentang panjang. Jadi, Bearing itu adalah ujung stasiun BTS di satu sisi, dan Chatuchak ada di stasiun BTS terakhir (Stasiun Mo Chit) di ujung satunya lagi. Asoy kan? Yuk, Bobo di dalam kereta! Perjalanan panjang, euy! Dari Bang Na ke stasiun Mo Chit bayar 55 baht.

Karena berdasarkan petunjuk hasil browsing, kalau mau ke Chatuchak itu jangan turun di Mo Chit (yang menjadi stasiun interchange dengan MRT Chatuchak), tapi lebih dekat kalau turun di stasiun MRT Kamphaeng Phaet, akhirnya di BTS Mo Chit kita pindah ke MRT Chatuchak Park. Dari sana naik MRT satu stasiun saja ke Kamphaeng Phet. Bayarnya 15 baht.

Keluar dari stasiun Kamphaeng Phet, kita sudah langsung masuk ke lokasi. Ini dia Chatuchak Weekend Market! Yihaaaa .... it’s shopping time! *siapin kresek*

Salah satu bagian dalam Chatuchak
Chatuchak Weekend Market adalah pasar tradisional yang menjadi lokasi wajib kunjung untuk wisatawan yang hobi ngupil berbelanja. Pasar yang hanya buka pada hari Sabtu dan Minggu ini benar-benar dipersiapkan dengan matang. Tidak kurang dari 15.000 kios menjajakan segala jenis barang. Apapun yang anda cari, pasti ada di Chatuchak. Wisatawan cenderung memilih pasar ini untuk membeli cenderamata khas Thailand dengan harga yang cukup murah. Bahkan, kelihaian dalam tawar-menawar dapat diuji di sini untuk mendapatkan harga terbaik.

Chatuchak Weekend Market adalah pasar terbesar di seluruh Asia, dan jadi salah satu yang terbesar juga di dunia. Pasar seluas kurang lebih 9 hektar ini dikunjungi tidak kurang dari  200.000 gajah orang per hari di setiap akhir pekan. Saking luasnya, pengelola menyediakan peta tersendiri untuk memudahkan pengunjung menjelajahi setiap area yang terbagi dalam 27 bagian sesuai dengan klasifikasi barang yang dijual. Ini salah satu bukti keseriusan dalam pengelolaan sebuah pasar tradisional secara profesional.

Tapi tunggu, sebelum mikirin belanja, pikirin dulu perut oooy ... laper niiih. Karena pasar ini memang gede (baca; guede bangeeeet), kita bingung nyari tempat makan halal sebelah mana. Akhirnya, kita nanya pak Satpam yang lagi bertugas.
“Pak, yang jualan karedok sebelah mana ya?” *dipentung*
“Where could we find halal food stall?”
Pak Satpam geol-geol pasang muka lempeng. Dia Cuma nyodorin peta Chatuchak dengan tatapan; “lo cari aja sendiri. Gue sibuk!”

Oooh .. jadi gitu caranya niiih? Yaweeees ... kita pun mindik-mindik lagi sambil celingukan kiri kanan. Pasar udah rame euy, penuh banget sama yang jualan. Eh, sama pengunjung ding. Untunglah, baru berjalan bentar, ada sebuah kios makanan yang membuat kita tersentak.

Ramazan Doner Kebab

“Ada kebab!” jerit Bhai sambil berlinang air mata haru. *oke, ini memang fitnah*
“Bagaimana kalau kita numpang ngadem di sana?” kata Ichen.
“Iya, ada kipas anginnya lho. Bagus ya, bisa muter,” cetus Nunik.
“Iya, sambil duduk kita sambil pesen makanan,” timpal Fita sambil ngences lihat gulungan daging yang muter-muter.
“Eh, yang punyanya bule cakep, lho,” pekik Kang Odoy dengan mata berbinar.
Sementara Mba Erna buang muka sambil menahan malu.
*percakapan dan adegan ini disarikan dari sumber yang tidak dapat dipercaya*

Ramazan Doner Kebab, akhirnya di sanalah kita terdampar siang itu. Niatnya sih pengen makan nasi. Namanya aja orang Indonesia, nggak ketemu nasi sehari aja berasa kangeeen banget. Tapi berhubung dorongan arus tengah yang sudah tidak tertahankan lagi, akhirnya segulung Beef Kebab pun lumayan untuk mengganjal pintu perut. Di tambah es lemon tea, siang itu terasa begitu indah. *puk-puk perut* Beres makan dan pada bayar, kita menatap syok si Bule pemilik kebab yang lagi makan di dekat pintu. Yang bikin kita keki, dia makan pake NASI! Saya pun melirik ke daftar menu yang dijembrengin di depan kios. Salah duanya bertuliskan :  ‘Chicken Kebab on RICE’ dan ‘Beef Kebab on RICE’! Jiyaaaaah .... Yang dua itu kapan ditulisnyaaaa. *kejet-kejet*

Lihat menu dulu makanya sebelum pesan!
Sudahlah, lupakan nasi, dan mari kita belanja. *siapin dompet*

Ternyata bener, Chatuchak adalah surganya belanja. Ngg ... saya emang jarang belanja ke pasar, dan nggak begitu ngerti dengan seluk beluk pasar di tanah air. Tapi lihat begitu banyaknya barang yang bisa dijadiin oleh-oleh di sini, eh jadi ikutan napsu juga. Awalnya sih, suwer, nggak niat beli ini-itu, kecuali yang lucu-lucu aja buat anak-anak. Tapi, lihat Pasukan Horey-Horey yang kalap belanja, eh akhirnya kebawa juga. Lihat Ibu-Ibu beli dompet-dompet lucu, akhirnya ikutan beli. Lihat gantungan kunci murah, ikutan juga. Pas mereka beli pasmina sutera khas Thailand, eh inget mertua, dan akhirnya beli juga. Lihat sepatu handmade lucuuw, inget Abith yang sepatu mainnya sudah sempit, akhirnya nekad beli juga (meski pas nyampe rumah kegedean satu nomor. Gpp Nak, lumayan bisa kepake sampe dua tahun ke depan!). Selanjutnya, saya tak kalah sibuknya dengan Pasukan Horey-Horey; beli ini dan beli itu. Bahkan saat pasukan memborong kaos-kaos murah untuk sanak sodaranya, akhirnya saya ikut terjun ke dalam kancah peperangan; obrak-abrik toko kaos. Buat siapa kaos itu, urusan di rumah. Yang penting beli dulu! Hahaaay.

Mr. and Miss Kresek
Sebenarnya, ada dua target yang harus saya beli di Bangkok ini. Sebagai kolektor magnet kulkas, itu adalah benda wajib yang harus dibawa pulang. Akhirnya, saya berhasil membawa pulang 12 biji magnet buat diri sendiri. Horeeee .... penuh-penuh dah tuh pintu kulkas *siap-siap beli kulkas baru buat tempat mejeng magnet*

Benda kedua yang ingin saya beli adalah; Gajah! Thailand identik dengan gajah, makanya itu saya ingin membeli gajah. Keinginan itu pun sudah disampaikan pada anak-anak sebelum berangkat, bahwa ayahnya bakalan pulang membawa seekor gajah! Nah loh!

Obrolan sebelum berangkat :
Abith nganga : “Hah, gajah?”
Rayya : “Horeeeee .....”
Abith : “Nanti nyimpen gajahnya di mana, Yah?”
Rayya : “Di garasi aja.”
Abith : “Gajah kan gede, garasinya nggak bakalan muat.”
Rayya : “Beli gajah anaknya aja, yang masih kecil.”
Abith terbawa suasana : “Oh iya, beli gajahnya yang kecil aja, Yah.”
Saya mesem-mesem.

Akhirnya keinginan saya tercapai. Saya beli gajah putih yang imut dan lucu. Tapi gajahnya nggak bakalan ditaro di garasi, tapi cukup di atas meja pajangan saja. Dan anak saya keduanya melonjak girang pas gajah itu saya bawa pulang; “Horeee ... gajahnya nggak perlu dikasih makan!” Hihihi.

Yang haus ... yang hauuus ....
Semakin sore Chatuchak semakin rame. Banget. Berarti nggak salah kalau Bangkok menjual pasar ini menjadi salah satu destinasi wisata karena daya tariknya memang luar biasa. Jubelan pengunjung yang datang bukan hanya wisatawan saja, tapi juga penduduk lokal. Semuanya campur aduk menjadi satu dengan tujuan yang sama; mencari barang murah meriah!

Pasukan Horey-Horey sudah ribet dengan bawaan masing-masing. Satu per satu berubah menjadi kontestan Miss Kresek. Selama sisa baht masih ada di dompet, tetep aja masih pengen ngelirik jualan lain dan lalu terlibat dalam pertarungan tawar-menawar. Nggak heran kalau gembolan semakin membengkak dan beranak pinak. Gempor sudah tidak terasa lagi gara-gara terlalu asyik. Yang ada justru mulut yang semakin asem dan gigi semakin kering. Hal ini kayaknya sudah sangat diantisipasi oleh mereka yang mencari peluang. Tukang jualan minuman pun merebak di mana-mana. Bukan hanya penjual air mineral dan soft drink, tapi juga penjual kelapa muda dan es teh, es jeruk, es lilin, dan es-es lainnya.

Selain haus, ternyata muter-muter keliling pun bisa bikin lapar, sodara-sodara *Kriuk*. Yaiyelah, udah mau sore kok. Lagian tadi cuma makan kebab doang, yang sudah jelas tidak bisa bertahan lama daya ganjelnya. Tapi, makan apa kita sekarang? Lihat makanan-makanan yang dijual sih sangat-sangat menggiurkan, tapiii ... yagitudeh.

Non Halal Food ada boneka & gambar piggynya *bukan yang baju putih*

Oya, resiko berpisah di Chatuchak ini sangat-sangatlah besar. Dan, kalau sudah berpisah alamat bakalan susah bertemu lagi. 9 hektar booow. Akhirnya janjian, kalau ada yang nyasar, nggak usah panik. Pas udah gempor, balik lagi aja ke pintu masuk stasiun Khamphaeng Phet dan tunggu di situ karena kita pasti bakalan ke situ juga nantinya. Daaan ... yang terpisah dari rombongan siang itu adalah ... Kang Odoy! Tuh Bapak memang paling seneng ngilang-ngilang. Di book fair aja  dia tiba-tiba bisa menghilang dalam sekejap, apalagi di pasar! Sempet panik pas Kang Odoy nggak kelihatan wujudnya di mana-mana. Kita takut kang Odoy ada yang nyulik buat dipaksa jadi ladyboy di Bangkok. Kita harus ngomong apa coba sama istrinya. Untungnya pas beres belanja, kita menemukan Kang Odoy lagi andemprok sendirian di deket pintu stasiun. Huwaaa ... anak hilang sudah ketemuu!

Halal Food ada gambar Mmooo dan label Halalnya
Salah satu makanan yang menggoda selama di Bangkok adalah sosis dan daging-daging panggang. Hampir di setiap ruas jalan selalu ada tukang sosis atau daging panggang. Wanginya itu lhoo ... semriwing banget. Di Chatuchak pun banyak yang jual begituan (idih, begituan amat istilahnya). Saya cuma menatap ngiler aja. Hiks ... apalagi sosisnya jumbo banget, dicelup ke bumbu pedas, lalu dibakar. Nom ... nom ... nom ... *ambil ember buat nampung iler*

Dan ... sebelum keluar pasar, godaan itupun datang lagi. Sate-sate dan bola-bola daging bakar dipajang bikin ngences. Aroma bakaran muter-muter dan joget-joget sekeliling saya. Aduhaaai ... sedapnyeee (baca ala Upin-Ipin). Saya pun serta merta menelan ludah *cegluk*. Lalu saya pun menatap si Ibu penjual sosis dengan tatapan iba. Guk! Guk! Si Ibu pun melemparkan sisa-sisa sosis gosong ke arah saya.

Okay, itu halusinasi terburuk saya. Karena sedetik kemudian saya menganga lebar. Mata saya terbelalak seolah melihat si Ibu itu berubah menjadi Luna Maya sedang dadah-dadah ke arah saya dengan senyumnya yang menggoda. Oh tidaaaaak .... Ibu itu menggunakan jilbab!

Halal! Halal!
Saya pun segera melolong. “Is it halal?”
Ibu penjual sosis tersipu-sipu. *Idih, kok gitu?*
Dan saya pun nanya lagi, takut si Ibu tadi salah denger dan ngira saya lagi muji kecantikannya. “Sosis ... HALAL?” sambil nunjuk-nunjuk sosisnya, dan bukan nunjuk muka si Ibu. Eh, si Ibu tetep tersipu-sipu *entahlah kenapa*, tapi sekarang sambil ngangguk-ngangguk. Saya bersorak penuh semangat; “SAYA BELI DUA!”

Setelah saya ngidam sosis panggang tiga hari itu, akhirnya saya bisa mendapatkannya di Chatuchak. Sekalian akhirnya saya beli baso panggang juga dua tusuk! Yummy. Harganya? Lupa! Hehehe

Belanja sudah beres, tinggal menentukan siapakah Miss Kresek tahun ini. menurut kamu siapa, coba? *clue; lihat buntelannya*

And Miss Kresek goes tooo .... *liat buntelan*

Bersambung (lagi?)

Rabu, 24 April 2013

[Laporan Perjalanan] Ancient City - Bangkok #Day3

jual bantal foto Laporan #Day1 bisa dibaca di sini.
Laporan #Day2 bisa dibaca di situ.
Laporan #Day3 bisa dibaca di bawah ini (kan memang baru ditulis).

Akhirnya sudah hari ketiga saya berada di Bangkok. Diawali dengan pagi hari yang normal, bangun tidur sambil ngulet-ngulet ganteng lagi tanpa perlu bangun secara tidak iklas seperti kemarin.Tidak ada agenda harus blusukan pagi buta lagi soalnya. Tapi tetep, pukul 6 pagi kita sudah rapi jali. Udah mandi dan wangi dong, biar kelihatan aslinya kalau orang Indonesia itu ganteng dan lucu-lucu. #Plaakk.


Sesuai jadwal, hari ini kita akan bergerak menuju Ancient City, dilanjutkan belanja-belanji di Chatuchak. Nggak ada meeting-meeting lagi? Eits, semua sudah kelar kemarin. Sekarang saatnya gempor-gemporan lagi keliling Bangkok. Hyuk, mariiii .... karena Ancient City itu lumayan agak jauh, jadi kita harus berangkat agak pagian. Pukul 7 sudah kelar sarapan, dan langsung cabut karena masing-masing sudah jinjing ransel.


Ancient City atau dalam bahasa mereka dikenal dengan nama Muang Boran ini berada di area Samuth Prakan. Dari stasiun MRT Lumpini, kita menuju ke stasiun Sukhumvit untuk pindah ke stasiun BTS Asok. bayarnya 20 baht. Dari Asok, kita menggunakan BTS sampai ke stasiun terakhir, yaitu stasiun Bearing. Bayarnya 40 baht. Nah, perjalanan ini belum usai sodara-sodara, karena kita harus melanjutkan perjalanan dengan taksi. Iye, Ancient City berada di luar jalur kekuasaan railway, makanya harus nyambung lagi pake angkutan lain.

We're model, indeed! *hoeeks*
Turun di stasiun Bearing langsung nyari taksi. Eh, pas taksi nyamperin malah supirnya bingung. Pertama, dia bengong aja pas ditanya tentang Ancient City. Ditanya-tanya lagi, eh malah teriak-teriak; "No English! No English!" terus nyerocos dalam bahasa tarzan, eh Thailand. Dan seperti biasa, akhirnya saya mengeluarkan jurus pamungkas; Gtab! lalu ditunjukkanlah website Ancient City dalam versi tulisan keriting.

"Aaah ... Muang Boran! Oke, oke!"

Fyuuuh ... bener kata orang, di Bangkok ini lebih aman menggunakan istilah dalam bahasa mereka ketimbang yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, soalnya tidak semua ngeh dengan istilah-istilah ini. Makanya, selalu siapkan kartu nama hotel banyak-banyak (bisa diambil di resepsionis), jadi kalau mau pulang ke hotel dan supir taksinya kebanyakan bengong pas kita ngomong, tinggal tunjukin saja kartunya, dia pasti ngerti.

Perjalanan dari Bearing ke Ancient City lumayan jauh. Sekitar setengah jam sih ada. Yang jelas, jangan kaget kalo supir taksi di sini gila jalanan semua. Ngebut cooooy ... udah kayak lagi main film Fast and Furious aja. Suweeer ...  Makanya Ichen yang satu taksi sama saya jerit-jerit sepanjang perjalanan. hehehe. Ongkos taksinya kalau tidak salah 160 baht, langsung brenti di pintu masuk Ancient City. *yaiyalaah, masa di pintu stasiun? balik lagi dong?*


Ancient City atau Muang Boran ini adalah salah satu museum outdoor terbesar di dunia. Luasnya sekitar 320 are atau 130 hektar, dan menyajikan kota Bangkok di masa silam, pada masa kejayaan Ayutthaya. Ini benar-benar keren karena kita seolah dibawa kembali ke zaman dulu dengan suasana dan kehidupan Bangkok di zaman kerajaan kuno. Sejumlah bangunan dibuat sama persis dengan aslinya, hanya saja dengan ukuran yang lebih kecil (bukan miniatur). Replika-replika bangunan, kuil, candi, taman kerajaan, pasar terapung, sampai ke bangunan rumah penduduk asli Bangkok pun dihadirkan secara lengkap di sini. Silakan terkagum-kagum di setiap spot yang ada. Jangan heran kalau kamu pun pengen difoto dengan setiap bangunan yang ada.

Buat yang doyan motret, ini adalah lokasi yang tepat. Tidak perlu jauh-jauh keliling kota Bangkok karena Ancient City sudah menyiapkan semua landmark terbaiknya, meski hanya replikanya. Pengalaman aja, di satu spot landmark saja, nggak kurang dari 50 gaya yang sudah kita lakukan untuk foto session. #kurangkerjaan.

Trem buat keliling-keliling. Ada Tour Guidenya, lho. Cakep! #eh
Masuk Ancient City kita harus merogoh kocek 500 baht (dewasa) dan 250 baht (anak). Tiket ini sudah termasuk tour keliling Ancient City naik trem. Jadi nggak perlu jalan kaki 130 hektar? Hohoho ... kalo mau sih, silakan saja gempor sepuasnya. Tapi, yang paling asyik dan seru buat keliling-keliling adalah naik sepeda! Tenang, Pengelola sudah menyiapkan ratusan sepeda yang bisa kamu pilih secara gratis! Gratis? Hooh, karena penggunaan sepeda sudah termasuk dalam biaya tiketnya. Nah, dengan sepeda ini kamu bisa keliling sepuasnya, menuju lokasi-lokasi yang kamu mau. Biar nggak bingung, pas beli tiket, kamu bakalan dikasih peta Ancient City juga, jadi nggak perlu takut nyasar atau harus kemanakah kita sekarang?

Pasukan Horey-Horey bersepada
Karena kita adalah pasukan horey-horey, jadi sepeda adalah pilihan utama. Naik trem nggak asyik, karena hanya berhenti di beberapa spot utama saja. Dengan sepeda kita bisa berhenti di mana saja, termasuk di bawah pohon rindang saat napas sudah ngos-ngosan. Atau brenti sejenak untuk menawarkan bantuan saat ada anggota pasukan yang sepedanya nyusruk ke kebon bambu! *lirik Nunik. hihihi* Kekurangannya, kita nggak bakalan dapet penjelasan dari tour guidenya (tenang, ada google dong!).

Ogah panas-panasan naik sepeda? Punya banyak duit? Hohoho ... kamu bisa nyewa golf cart buat keliling-keliling. Tarifnya 150 baht untuk golf cart 2 seats, atau 300 baht untuk 4 seats, dan 450 baht untuk yang 6 seats. Tarif dihitung per jam lho, ya. Nah lho!

Golf Cart for rent

Hasil browsing youtube, Bollywood pernah syuting di sini untuk filmnya Salman Khan. So, tempat-tempat yang pernah dijadikan setting film itulah yang akhirnya
kita kejar, soalnya memang viewnya asyik! Bahkan, biar ada kenang-kenangannya secara live, Bhai Benny menawarkan diri untuk melakukan rekonstruksi ulang pengambilan sepenggal lagu yang ada di film itu. Asyiiiik.

So, dua buah BB dijadikan alat untuk merekam video syuting ini. Satu buat muterin lagunya, satu lagi buat ngerekam videonya. Saya ditunjuk sebagai kameramennya. Okesip, mari kita laksanakan.

Camera rolling ... action!

Dan lagu pun mulai mengalun. Dari balik sebuah pilar besar, Bhai melangkah keluar saat Salman Khan mulai bersenandung. Dalam penghayatan yang dalam, Bhai langsung menjelma menjadi aktor kenamaan Bollywood saat ini. Huhuuuy ... dengan BB di tangan, saya sibuk mencari angle yang pas untuk mengabadikan video klip ini. Muter ke kiri, belok ke kanan, terus maju mengikuti setiap langkah Bhai yang bergerak mendekati patung Budha raksasa. Aiiis ... bakalan jadi keren banget nih videonya. Kalau entar diaplod di Youtube, pasti viewernya bakalan banyak, dan Bhai tiba-tiba melejit menjadi seseorang yang bakalan dielu-elukan banyak orang. Eluuuu .... eluuuu ..... #eh.

Di sini syuting video klip yang gagal itu *pake helm*
Setelah beberapa saat kamera rolling, akhirnya ... "cut! Kita pindah ke lokasi lain," kata Bhai yang memang sudah hatam beberapa kali film dan video klip  ini.

"Coba lihat, Wok, hasilnya?" tanya Bhai.

Saya langsung buka folder video. Eh, tapi mana ya? Satu-satu saya buka, tapi lagi-lagi video anak saya lagi yang nongol. BB saya memang jadi media anak saya untuk merekam aksi narsis mereka. Jadi, banyak banget video mereka yang tersimpan. Saya pun tidak mau menyerah, satu per satu saya puter, berharap hasil syuting barusan bakalan nongol. Tapi ... sampai file terakhir, video itu tidak pernah nongol. Huwaaaa ....

"Nggg ... kayaknya ... tadi saya lupa mijit tombol recordnya." *nelen ludah dengan wajah panik*

Bhai melirik bete. Udah aca-aca penuh semangat, eeh ... ternyata nggak kerekam? Hiyaaaaa ..... *cekik iwok*

Bersambung ke episode Chatuchak Weekend Market

Kamis, 18 April 2013

Tulisan Saya dimuat Media Hari Ini!

jual bantal foto Alhamdulillah, hari ini ada dua tulisan saya dimuat media secara berbarengan. Artikel Wisata 'Menyusuri Eksotisme Bangkok' di Kabar Priangan, dan cerpen 'Sandal Kesayangan' di Majalah Bobo. Senangnyaaaa ....

Bobo, edisi 18 April 2013

HU Kabar Priangan, 18 April 2013



Selasa, 16 April 2013

[Traveling] Seru-seruan Keliling Bangkok #Day2

jual bantal foto Cerita seru-seruan #Day1 bisa dibaca di sini.

Perasaan baru aja merem bentar, eh TV di kamar sudah nyala. Saya pun ngintip dari balik selimut sambil ngulet-ngulet ganteng. Siapakah gerangan yang sudah bangun di malam buta begitu? Ternyata saya lihat Shah Rukh Khan lagi nyisir. Kucek-kucek mata dengan kaget, takutnya saya tiba-tiba sudah nyasar di Bollywood. Ooh ... ternyata itu Bhai Benny yang udah rapi jali. Wedew, mau ke mana jam segini?

Saya pun ngintip jam di HP, lalu melotot tidak terima. Kok sudah jam 4 lagi sih, padahal saya kan baru aja merem? Tidur malem itu bener-bener pules tanpa mimpi saking teparnya. Rasanya nggak iklas banget harus bangun secepat itu. Tapi daripada ditinggal, saya pun bangun dengan terpaksa. Cuci muka, gosok gigi, lalu joget gangnam style nyiapin air minum buat bekel.

Area Kampung Jawa
Ke manakah kita pagi buta begitu? Itinerary yang sudah disusun, jam 4 itu kita akan meluncur ke Kampung Jawa untuk salat Subuh di sana. Hasil browsing sana-sini, ternyata ada perkampungan keturunan orang Jawa di Bangkok dan ada sebuah masjidnya yang cukup terkenal di kalangan umat muslim di sana. Dari hotel sih lumayan deket. Kalau naik MRT (lanjut BTS) Cuma beberapa stasiun saja. Tapi berhubung sopir keretanya masih pada bobo jam segitu, akhirnya kita putuskan naik taksi aja. Bayarnya murah banget, cuma 36 baht kalo nggak salah. Cuma 12ribuan rupiah saja! Apalagi ongkosnya kita bagi bertiga (saya, Bhai, dan Kang Odoy), jadi 4rebuan per orang. Haiyaaa .... Suer, mending bayar segitu daripada harus jalan kaki, soalnya pegel-pegel sisa gempor semalem masih kerasa.

Oya, dari hotel kita naik taksi ke stasiun BTS Surasak. Di petunjuknya disebutin gitu sih. Katanya, dari BTS itu tinggal belok kiri, lalu masuk-masuk gang. Turun dari taksi, bingung mau belok kiri yang mana. Gang-gang kecilnya ada beberapa soalnya, dan jaraknya agak berjauhan. Akhirnya kita nyamperin patung Satpam di depan sebuah kantor. Pas ditanya dalam bahasa Inggris, eh dianya malah bengong. Karena dia pasti bakalan tambah cengo kalo ditanya dalam bahasa Sunda, akhirnya saya keluarkan jurus andalan; tunjukin Gtab yang ada gambar Java Mosque-nya. Dan Satpam itu pun akhirnya nyahut : “NO! NO!” Jiyaaaah .. masa Satpam nggak tahu sih?

Masjid (Kampung) Jawa
Akhirnya kita nyamperin Ibu-Ibu yang lagi gelar lapak. Kayaknya sih mau jualan sayuran, soalnya kalau jualan berlian masa subuh-subuh begitu? Pas kita tunjukin gambar yang sama, si Ibu langsung senyum sambil ngangguk-ngangguk, terus ngamuk-ngamuk nyerocos sendiri. Meski nggak ngerti dia ngomong apaan, tapi seneng aja lihatnya. Hihihi. Yang kita perhatikan cuma gerakan tangannya. Kita pun langsung menerjemahkannya sendiri; “Ooh ... lurus, terus ada gang belok ke kanan ya?”

Si Ibu ngangguk-ngangguk. “Haik!” katanya. Eh, itu mah bahasa Jepang, ya?
Akhirnya kita segera bergerak dalam gelap, soalnya gang-gangnya minim sekali penerangan. Mudah-mudahan aja nggak ada penduduk setempat yang curiga kita bakalan ngerampok rumah mereka. Amit-amiiit. Udah masuk gang, terus banyak gang-gang lainnya di dalam. Haiyaaah ... ambil gang yang mana lagi nih? Si Ibu tadi nggak bilang harus belok-belok lagi soalnya. Eh, mungkin kita yang nggak nangkep maksud omongannya sih, soalnya tadi dia nyerocos agak lama.

Tiba-tiba, kita lihat sebuah bayangan berkelebat di dekat tempat sampah. Huwaaaa ... apakah itu? Oh, ternyata seorang Bapak-Bapak yang lagi buang sampah. Fyuuuh ... Untuk meyakinkan bahwa itu beneran orang, akhirnya kita tanya aja apakah dia tahu Masjid Jawa atau enggak. Eh, ternyata dia tahu lho, berarti dia memang beneran orang. #tabok. Katanya, jalan aja terus sampe berada di gang yang ke tiga. Nah, di gang ketiga itu kita harus goyang itik belok kanan.

Kita pun segera berlarian dengan riang. Udah jam 5 soalnya, takut keburu adzan dan kita ketinggalan salat berjamaahnya. Etapi, kalo masjidnya udah deket, kok nggak kedengaran suara adzan ya? Apa adzannya sudah lewat? Atau malah masjidnya masih jauh? Atau di sini nggak boleh mengumandangkan adzan?

Pagi buta itu kita blusukan ke gang-gang gelap, udah kayak Jokowi lagi inspeksi mendadak aja di Ibukota. Rumah-rumah di area itu sama aja kayak di Indonesia, padat merayap. Satu rumah dengan rumah lain berdempetan. Bakalan susah deh kalau punya mobil di sini, soalnya nggak bakalan bisa masuk. Gangnya sempiiiit. Lagi celingukan kiri-kanan, tiba-tiba terdengar suara yang kita tunggu; adzan! Waaaah ... alhamdulillah. Langsung deh celingukan lagi, nyari-nyari menara masjidnya. Baru jalan beberapa meter, eh nemu papan petunjuk; JAVA MOSQUE belok kiri! Yihaaaaa .....

Alhamdulillah ... meski salat subuh berjamaah baru berlangsung pukul setengah enam (tapi masih gelap banget bow), dan tidak banyak yang ikut berjamaah saat itu, tapi rasanya nyeesss banget. Sensasinya beda  bisa salat berjamaah di negara orang, di mana penduduknya masih ada kaitan saudara sebangsa dan setanah air, dan di mana kaum muslim menjadi kaum minoritas di negara tersebut. Apalagi selepas salat, kita bisa ngobrol dulu sebentar dengan tetua di sana. Ternyata masih bisa bahasa Indonesia, lho, meski sudah terbata-bata dan harus mengingat kosa kata apa yang harus diucapkan sebelum berbicara.

Kampung Jawa ini adalah daerah di mana bermukim keturunan orang Jawa yang dulu dibawa bangsa Jepang untuk bekerja rodi di sana. Mereka bermukim di tempat itu, berkeluarga, memiliki anak cucu dan kemudian menjadi sebuah komunitas tersendiri di tengah-tengah penduduk asli Thailand di Bangkok. Tidak heran kalau kemudian daerah itu dikenal dengan sebutan Kampung Jawa karena silsilah masa lalunya. Yah, intinya sih kayak begitulah kurang lebih.

Dari Kampung Jawa, perjalanan dilanjutkan menuju Wat Yanawa. Karena kita salah ambil jalan (harusnya balik lagi ke arah masuk sebelumnya, tapi kita malah jalan terus ke belakang Kampung Jawa), akhirnya kita nyasar lagi. LAGI? Doyan amat ya sama nyasar? Bingung dah mau ke Wat Yanawa itu harus lewat mana. Yang ada malah blusukan ke tengah-tengah perumahan. Mau balik lagi kok males, udah jauh soalnya. Hihihi.

Setelah nemu jalan gede (fyuuuh), satu-satunya jalan tercepat adalah; “TAKSIIIIII!” Daripada nyasar tambah jauh, kan? Lagian, niat kita nggak bakalan lama di sana, numpang foto doang. Hehehe. Naik taksi 38 baht, udah langsung nyampe, nggak perlu kelimpungan dulu nyari jalan.

Eh, pas nyampe ternyata sudah ada Nunik dkk. yang lagi sibuk foto-foto di sana. Mereka memang nggak ikut ke Kampung Jawa, dan memilih nyegat kita di Wat Yanawa. Yasud, kita pun segera bergabung untuk foto session. Hehehe ... Tetep, foto-foto memang wajib hukumnya kalau lagi traveling begitu. Kapan lagi kan ke sana lagi? *well yeah, alibi*

Kenapa saya malah kayak patung mesir ya? #salahgaya

Dibanding Wat yang lain, Wat Yanawa ini candi Budha yang termasuk kecil. Tidak terlalu istimewa meski bentuknya cukup unik karena berbentuk seperti perahu. Masuknya gratis. Horeeee .... *masukin lagi dompet*

Breakfast. Nyam-nyam.
Balik ke hotel, mandi, lalu sarapan. Nah ini dia yang ribet. Nginep di Hotel Pinnacle itu sudah termasuk breakfast buffet. Wiiih ... kebayangnya sih bakalan makan enak nih, soalnya makanannya lumayan berderet. Tapiii ... pas lihat nama-nama menunya kok ada porknya semua ya? *lemes* Akhirnya, selama 3 kali breakfast di sana, menu saya selalu sama; roti plus selai, salad, dan omelet. Itu yang paling aman. Eh, ada nasi goreng juga ding, sempet saya icip-icip juga. Lumayan juga... lumayan ngambil banyak maksudnya. Hehehe. 

Tips pesan omelet dari Benny Rhamdani.
Omelet juga sempet bikin kita was-was, soalnya di salah satu bahannya ternyata ada porknya juga. Meski kita pesan omelet tanpa pork, tapi wajannya kan bekas ngegoreng omelet yang ada porknya? Nah loh, berarti masih ada yang nempel-nempel dikit dong?  Biar lebih nyaman makannya, minta aja chefnya buat nyuci dulu wajannya sebelum bikin omelet punya kita. Chef di hotel kita kemarin mau kok, dan kelihatan dia maklum banget kalau kita bilang muslim. Kalau enggak, sarapanlah sepagi mungkin, dan jadilah orang pertama yang pesan omelet sehingga wajannya belum sempat ternoda!

Beres sarapan, saatnya meluncur ke tujuan utama kita ke Bangkok; Bangkok International Book Fair di Queen Sirikit National Convention Centre. Hyuk mariiii ... kembali ke stasiun MRT Lumpini. Kebetulan lokasi pameran ini deket dari hotel. Naik MRT dua stasiun saja langsung nyampe. Kita turun di stasiun MRT Queen Sirikit dengan tarif  18 baht saja. Enaknya, keluar dari stasiun langsung masuk ke arena pameran yang bertenda dan berpendingin. Jadi, nggak perlu panas-panasan dulu. Nyessss ...

Suasana di luar gedung sudah rame, meski ruang pameran di dalam gedung belum dibuka. Deretan stand buku komik langsung berjajar, memamerkan beraneka jenis komik dengan beragam style. Sayangnya saya bukan penggemar komik, jadi tidak begitu tertarik untuk mengobrak-abrik setiap stand. Lagi pula, target kita sepertinya ruang pameran di bagian dalam dulu, di mana ada beberapa penerbit yang memang sudah janji temu siang itu.

Queen Sirikit National Convention Centre ini gede banget, plus megah, plus adem dan nyaman, plus berkarpet tebal yang bisa buat gelutukan kalau nggak ada kerjaan. Sebelum memasuki ruang pameran, lewat dulu ke sebuah food court gede dengan deretan stall makanan serba ada. Ada starbuck juga, Black Canyon, dan beberapa cafe yang tampaknya asyik buat nongkrong. Nggak susah kalau pas belanja buku tiba-tiba kelaparan dan kehausan. Tinggal ngaclok aja udah langsung nyampe.

Bangkok International Book Fair 2013
Yang namanya internasional book fair, tentu saja kelasnya sangat berbeda dengan pameran buku yang biasa kita datangi di Istora. Bukannya berniat membandingkan, tapi mau tidak mau saya tetap membandingkan dengan pameran yang pernah saya kunjungi sebelum-sebelumnya. Bangkok seolah sangat serius menggelar book fair ini. Apalagi, tahun 2013 ini Bangkok dinobatkan sebagai Kota Buku Dunia! Wiiih .. keren, ya? Sebenarnya wajar kalau melihat antusiasme orang Bangkok menyerbu pameran ini. Bayangkan, hampir setiap orang membawa tas belanja dan tas beroda, dan bahkan koper gede (iya, KOPER!) untuk membawa buku-buku belanjaan mereka. Sudah bukan hal yang aneh lagi ketika melihat seorang ibu atau anak ABG yang menyeret-nyeret koper berisi buku-buku yang baru saja mereka borong. Suwer, seneng banget lihatnya.

Nyeret-nyeret koper berisi buku belanjaan. *cegluk*
Yang bikin kagum pula, yang memenuhi pameran ini rata-rata pengunjung berusia muda. Antusiasme mereka terhadap bacaan menunjukkan kalau minat baca anak muda Bangkok cukup tinggi. Tidak heran pula kalau sering terlihat anak-anak muda di dalam kereta yang tak pernah lepas dari buku di tangannya. Bahkan di beberapa sudut ruang pameran, kelompok-kelompok ABG terlihat duduk lesehan, berkumpul dan seperti tengah mendiskusikan brosur-brosur buku di tangan mereka. Pasti mereka lagi ngobrol; “Eh, gue mau beli buku ini. Lo mau beli buku apa? Tar barter, ya?”

Berbeda dengan kalau mengunjungi pameran buku di tanah air, di sana saya seolah menjadi mahluk asing. Tiap ngelongok satu atau deretan buku, saya Cuma bisa cengo. Tulisannya keriting semua! Nggak ngerti! Huwaaaa .... padahal kalau lihat ilustrasi-ilustrasinya sih cakep-cakep. Beda kalau saya seorang ilustrator kali ya, pasti bisa belajar banyak dari gambar-gambar itu. Tapi saya kan nggak bisa gambar, saya justru pengen belajar dari tulisan dan cerita-cerita mereka. Tapi belajarnya gimana kalau ngerti tulisannya aja enggak? *manyun*

Sebenarnya, ada juga sejumlah buku anak yang dibuat bilingual. Tapi, rata-rata buku terjemahan di mana ceritanya sudah sangat dikenal di Indonesia. The Ugly Duckling, The Three Pigs, Rapunzel, Pinokio, dan lain-lain. Yah, kalau cerita itu mah saya sudah hatam beberapa versi. Jadi males aja belinya juga. Yang ada saya malah betah nongkrong di stand buku second. Di situ bukunya berbahasa Inggris semua. Yang asyik, harganya mureeeeh. 3 buku dibandrol 100 baht saja. 34ribu perak! Alhasil saya cukup kalap di sana, ambil ini, ambil itu, taro lagi, ambil lagi. Hiyaaaa .... seandainya koper saya gede, mungkin saya bisa ngambil banyak. Tapi pertimbangan bagasi saya minim, dan kita belum beli oleh-oleh yang entah seberapa besar bakal menggembungkan koper, akhirnya saya pilih 3 buku saja. Hiks ... *dadah-dadah ke beberapa buku yang sudah dipilih*

Pamer Tas Minmie. Ilustratornya yg paling jangkung tuh!
Ah ya, selain keliling book fair, siang itu kita kembali bertemu Minmie untuk obrolan lebih lanjut. Karena balik lagi ke lobi hotel bakalan lama dan ... capek, akhirnya ngobrolnya di Starbuck aja.  Lebih nyaman dan enak, soalnya dibayarin ! hihihi. Kali ini Miss Intira datang bersama bosnya Minmie, pertanda obrolan bakalan lebih serius. Oya, di antara mereka berdua ternyata nyelip cabe, eeh ... nyelip seorang cowok jangkung dengan rambut panjang dikuncir. O-ow, siapa diaaaa? Apakah dia Mario Maurier yang lagi nyamar? Atau ... 

“Ini adalah ilustrator sekaligus creator tokoh Minmie!”

Hiyaaaa .... mangap semua. kok kontras banget ya dengan karakter Minmie ciptaannya yang cantik dan imut? Soalnya yang bikin gambar nggak ada imut-imutnya. Hehehe. Tapi seneng banget bisa bertemu langsung dengan creator dari salah satu tokoh kartun yang mulai dikenal dunia.FYI, Minmie sudah jadi brand tas terkenal di Jepang, Hongkong, dan di negara-negara Asia lainnya.

Ngobrol apa aja kita di sana? Pssst ... rahasia! Yang jelas, Miss Intira ngasih kejutan tambahan di akhir pertemuan; dia memberikan sebuah produk tas Minmie untuk setiap orang. Hurraaaay ... *joget-joget*. Biar afdol dan tasnya jadi barang yang ekslusif, kita todong ilustratornya (halah, namanya siapa sih, kok jadi amnesia begini) untuk menandatangani tasnya!

Beres meeting sudah hampir jam 4. Masih sangat pagi untuk mengakhiri hari. Akhirnya, itinerary digelar lagi; saatnya menuju sungai Chao Phraya! Cabuuut ....

Dari Stasiun MRT Queen Sirikit kita menuju stasiun Silom. Bayar 20 baht. Pindah ke stasiun BTS Sala Daeng untuk menuju stasiun Saphan Taksin. Bayarnya 25 baht. Nah, turun di Saphan Taksin, tinggal jalan mengikuti petunjuk Exit untuk langsung sampai di dermaga perahu. Sampai deh di sungai Chao Phraya.

Wat Arun on sunset
Ada apa di Chao Phraya? Kalau kamu berminat untuk mengunjungi wat (candi Budha) di Bangkok,  beberapa yang terhebat ada di pinggiran sungai Chao Phraya ini. Tidak kurang dari Wat Arun, Wat Po, Wat Phra Kaew, serta Grand Palace lebih mudah dijangkau melalui Chao Phraya. So, kita langsung membeli tiket perahu seharga 15 baht. Dengan 15 baht ini, kita boleh turun di dermaga mana saja. Istilahnya, jauh dekat sama saja. Hanya saja, harus diperhatikan bahwa untuk tiket perahu seharga 15 baht ini yang berbendera oranye. Karena ternyata ada beberapa perahu dengan warna bendera berbeda. Untuk perahu express, yang hanya berhenti di dermaga-dermaga tertentu saja, tarifnya 40 baht. Ada juga perahu gratis yang ditujukan untuk penumpang yang hendak menuju Asiatique, sebuah tempat nongkrong sekaligus pasar malam di tepian Chao Phraya.

Pemandangan Chao Phraya sore itu eksotik banget. Matahari mulai turun, dan langit berwarna jingga. Gileee .. keren, cuy! Apalagi pemandangan wat Arun di kejauhan menjadi siluet cantik di balik semburat oranye sunset. Momen langka untuk mengabadikannya dalam jepretan kamera. Sayang kamera saya Cuma pocket, jadi nggak terlalu puas lihat hasilnya. Hiks ... pengen DSLR. :(( 

Tujuan pertama kita adalah Grand Palace, sebuah landmark yang dari foto-fotonya keren luar biasa. Apalagi sebagai Istana Kerajaan, pastinya memiliki keunikan dan keindahan tersendiri. Di lokasi yang sama pun terdapat Wat Phra Kaew,  jadinya sekali masuk dua lokasi terlampaui. Untuk menuju Grand Palace ini, kita berhenti di dermaga Tha Chang (Tha Chang Pier). Dari situ tinggal jalan kaki, deket banget. Begitu keluar dari dermaga pun sudah kelihatan pagar tembok tinggi Grand Palace ini.

Begitu keluar dermaga kita bingung mesti lurus apa belok kanan. Pagar temboknya memang sudah di depan mata, tapi pintu masuknya di manaaaa? Jangan sampe kita salah ambil jalan, terus pintu masuknya nggak ketemu-ketemu. Gempor lagi kan? Soalnya, area Grand Palace ini luas banget. Kalau memang salah terus harus balik lagi, bakalan enek banget. Jauh bow!  Dan ternyata bener, kita salah ambil jalan lagi. Kita sudah belok kanan sebelum kemudian nyadar pintunya nggak pernah kelihatan. Balik lagiiiii! Huwaaaaa .....

Sudah jam 6 sore dan kita mulai pasrah. Kesorean emang dan curiga gerbangnya sudah digembok. Tapi biar nggak penasaran, kita tetap melangkah penuh semangat. Tu! Wa! Tu! Wa! Pas sampai pintu masuk, tarrrraaaaa ... anda terlambat saudara-saudara! Penjaganya langsung nyegat kita tanpa ampun.

“Closed!” katanya sambil ngacungin golok. #Eh, kok jadi si Pitung?

Kita langsung pasang wajah sengsara semua, berharap dapat rasa iba dari para penjaga. Tapi mereka cuek aja tuh. #sebel! Bahkan, meski kita sudah begging-begging, mereka tetep geleng-geleng kepala. Dengan sombongnya mereka nunjuk pengumuman gede di depan tembok masuk. OPEN : 8 TO 15.30. Hiks ... telatnya jauh amat ya?

“Where are you from?” tanya salah satu penjaga. Mungkin penasaran dari manakah rombongan kucel bin lusuh ini.
Waah ... alamat bagus nih. Pasti dia kasihan juga dan sebentar lagi meleleh karena iba.
“INDONESIA!” jawab kita rame-rame. Biar penjaganya tahu kalau kita sudah datang jauh-jauh kemari, dan ngasih izin masuk barang sebentar. Masa nggak bisa motret-motret Grand Palace sedikit pun?
“Ooh.” Jawabnya kalem.
Eh, gitu doang? Huwaaa ... *ngamuk-ngamuk sambil ngebayangin nendang penjaganya*

Saya keburu sebel, dan ogah motret pucuk-pucuk bangunan yang ada di dalem. Buat apaan kalo fotonya tar gambar tembok pager semua? Lagian bikin pager tembok kok tinggi amat sih? #napsu.

Oya, untuk masuk ke Grand Palace ini bayar 400 baht. Udah termasuk tiket masuk ke Wat Phra Kaew dan sebuah bangunan lain (errrr ... apa ya namanya? Googling deh). Hikmahnya, 400 baht saya utuh. Sebelnya, kapan lagi bisa ke Bangkok buat nengokin Grand Palace? *garuk-garuk aspal*

Oya, ternyata penjaga itu ada baiknya juga.  Tahu kita tetep nggak dibolehin masuk, dia nyaranin kita ke Wat Pho aja yang ada di belakang area Grand Palace ini. Katanya, tutupnya jam setengah tujuh malem. HAH, SETENGAH TUJUH? Lirik jam sekilas, lalu ngibrit rame-rame. Itu sudah jam 6 lewat! Hiyaaaa ....

Sebenernya, kalau Bangkok tuh deket dari Tasik, saya mending datang lagi besok dah daripada betis nyut-nyutan kayak gitu. Sayangnya Bangkok jauh, dan belum tentu ada hari esok untuk bisa ke sini lagi. Akhirnya dengan terpaksa saya pun berlagak sok kuat. *balsem mana balseeem*.

Wat Pho
Pintu masuk Wat Pho masih terbuka saat kita datang. Alhamdulillah ... langsung aja menyelinap masuk setelah celingukan nyari loket penjualan tiket. Ternyata masuk ke Wat Pho ini gratis! Hihihi ... tahu gitu nggak usah menyelinap segala, lah wong silakan-silakan aja kok kalau mau masuk.

Wat Pho ini terkenal karena adanya patung Budha raksasa yang tengah berbaring (Reclining Buddha). Hebatnya, kabarnya patung ini berlapis emas. Widiiiw ... coba bisa dikerik dikit ya emasnya. Hush! Sayangnya (lagi) kita udah kemaleman datangnya, dan ruangan tempat patung Budha berbaring itu sudah dikunci. Huwaaaa .... (lagi). *jeduk-jeduk*

Tapi, Wat Pho tidak menjual itu saja. Ada 3 candi keren yang ada dibalik itu. Mulut saya langsung nganga pas melihat kemilau keemasan yang terpancar dari ketiga candi itu. Apalagi masih ada latar langit biru yang mulai gelap di belakangnya. Wuaaaah ... kereeeen. Udah nggak mikir mau mejeng lagi di sini. Saya lebih memilih jeprat-jepret candi itu saja. Baru setelah malam makin gelap, saya baru nyesel kenapa nggak foto-foto dulu tadi, soalnya kamera saya nggak bisa diajak asyik buat motret malem. *pengen kamera DSLRRRRRR*

Sebagai balas dendam nggak bisa nengok Grand Palace, di sini kita agak lamaan, sekalian ngistirahatin kaki dulu. Apalagi Ibu-Ibu sibuk foto sana-sini (Bapak-bapaknya juga deng). Saya bahkan sempet pipis dulu di sini. Eh, penting ya diceritain? Pokoknya, pengunjung saat itu Cuma kita bertujuh, jadinya bebas mau jungkir balik dan koprol sana-sini.

Sudah jam 8 malem (kayaknya) saat kita capek jeprat-jepret. Lagian sejam setengah kurang gaya apalagi sih? Pulang! Pulaaaang ... laper nih. So, merapatlah kita ke dermaga Tha Thien (Pier) yang memang lebih deket ke situ daripada ke Tha Chang Pier semula. Nyampe dermaga baru kelihatan Wat Arun dadah-dadah dari seberang sungai. Waduh, nggak sempet ke sana pula ya? Huhuhu .... padahal Wat itu juga keren banget. Ternyata bener, kalau mau menjelajah dari Wat ke Wat jangan mepet waktunya. Enakan dari pagi biar lebih leluasa.

Sebagai informasi saja, untuk ke Wat Arun harus nyeberang pake perahu dari Tha Thien Pier. Bayarnya 5 baht. Yaay ... murah banget, kan? Mmm ...  Emang cuma nyeberang dong, kok. Hehehe. Terus, masuk ke Wat Arun bayar tiket 50 baht. So, buat yang mau ke Bangkok dan niat mau mengunjungi Wat-Wat ini, silakan dikalkulasi deh biayanya, biar nggak nombok.

Kerlap-kerlip kapal wisata untuk Dinner Cruise
Di Tha Thien Pier kita nyegat perahu lewat. Karena yang pertama datang adalah Express Boat, yawes kita naik itu aja. Bayar 40 baht dan beneran express. Nih perahu nggak brenti-brenti sampe kita sampe ke dermaga awal (Saphan Taksin). Asyiknya, perahu ini kosong melompong. Mungkin karena yang lain sudah pada balik dari tadi ya? Kita aja yang telat mainnya.

Nah, ada yang seru juga dari Chao Phraya di waktu malam. Ternyata malem-malem begitu sepanjang sungai sudah penuh dengan Cruise (kapal pesiar/wisata)! Woaaah ... jauh banget kalau dibandingin sama perahu yang kita naikin ( Nggg ... perahu beda sama kapal, Iwok!). Terus, kapal mereka terlihat semarak dan penuh lampu warna-warni. Baru nyadar kalau ini adalah atraksi lainnya yang dipersembahkan Chao Phraya; Dinner Cruise! Sajian makan malam mewah ditemani atraksi musikal di atas kapal seraya menyusuri sungai Chao Phraya. Hmmm ... sounds great, ya? Bayarnya berkisar 1000 sampai 1500 baht per orang!

Sempet sih tercetus sebelumnya kita pengen nyoba ikut dinner cruise begini. Tapi, mengingat sajian makanannya yang bakalan meragukan (dan ujungnya kita Cuma bakalan ambil salad doang), akhirnya kita batalkan rencana ini. Padahal, intinya adalah sayang banget ngeluarin 1500 baht buat makan doang, mendingan buat besok kalap di Chatuchak. Hihihi.

Dari dermaga kita kembali ke Stasiun Saphan Taksin untuk naik BTS sampe Sala Daeng. Dari sana pindah ke Stasiun Silom untuk lanjut dengan MRT ke Stasiun Lumpini. Kali ini nggak pake salah Exit lagi seperti kejadian siangnya saat kita balik dulu ke hotel buat naro buku-buku hasil borong di book fair, sebelum kembali ke pameran untuk meeting dengan Minmie. Kita sudah nandain bahwa kita harus keluar dari Exit 1, dan BUKAN EXIT 2!

Akhir perjalanan hari itu? Eits, belum dong. Masih jam 10 malem, dan rasanya masih terlalu sore buat langsung bobo. Kali ini kita ngiler dengan Foot Massage yang ada di jalanan dekat hotel. Dua hari ngiter-ngiter Bangkok lumayan bikin betis kita segede singkong bangkok kayaknya. Pegel mampus! So, akhirnya kita bisik-bisik untuk menjajal Foot Massage. Kenapa harus bisik-bisik? Ah, karena pengen aja. :p

Akhirnya, saya, Bhai, Nunik, Fita, dan Ichen memutuskan untuk menjajal kehandalan pijat memijat ala Thailand ini. Mari kita lihat, apakah pijatan mereka seenak pijatan Kang Maman langganan saya? Kalau ternyata memang lebih enak, berarti Kang Maman bakalan dicoret dari urutan teratas daftar tukang pijet terenak versi Iwok.

Kita memilih pijet di MagicHands, gara-gara terbujuk rayu pemiliknya yang centil dan bilang; “Indonesia, right? Ah, I love Indonesia!” Akhirnya kita pun pijet di sana. Apalagi si Mas-mas ini meyakinkan kita pas melihat Ibu-Ibu yang pada pake jilbab; “Don’t worry, woman with woman, man with man.” Yawes, masuk deh daripada harus nyari jauh lagi.

Thai Massage di sini. Enyak-enyak-enyak!
Awalnya, kita cuma pengen nyoba foot massage aja, karena pegelnya kan kaki doang. Bayarnya 250 baht (jauh di atas tarif Kang Maman) untuk pijet satu jam. Tapi lagi-lagi tuh Mas-mas centil pinter banget ngomongnya. Dia nyerocos aja terus selama kita mulai pijet kaki. Sekalian sama Thai Massage (body massage) aja katanya. Pake ngerayu-rayu kalau sekalian paket sama Thai Massage, kita Cuma perlu bayar 400 baht saja. Thai massage 200 baht kalau terpisah. Terus, dia bilang kita bakalan dikasih essential oil dan buah-buahan istimewa khas Thailand.

Mulailah kita tergoda. Setelah kita berlima diskusi panjang lebar sambil merem-melek (kan lagi dipijet), akhirnya kita sepakat buat ambil paket sama Thai Massage. Alasannya, kita tadi sore batal ke Grand Palace, dan uang 400 baht kita masih utuh. Nah, buat pijet aja! Asyik!
Si Mas Geboy langsung bersorak pas kita deal untuk ambil paket. Dia geol-geol dan muter-muter ke sana-kemari sambil nyerocos nggak brenti-brenti. Curiga dia adalah salah seorang ladyboy yang udah pensiun dini. Hehehe.

Sesuai janjinya, dia ngasih essential oil buat Ibu-Ibu masing-masing satu. Saya dan Bhai nggak dikasih. Biarlah, memang nggak mau. Terus, dia pun bilang mau ambil buah unik khas Thailand. Saya iseng nanya, buahnya enak nggak? Dia ngedip-ngedip (idih!) sambil bilang, rasanya asem-asem gitu. Trus dia bawa beberapa biji dalam nampan, lalu dibagiin satu-satu. Dia juga bilang, nama buah itu adalah Makak (eh, mirip-mirip gitulah).

Karena suasana ruangan agak remang, kita nggak merhatiin buah yang bulet kecil itu. Langsung aja kita gigit dan kunyah. Ebusyet, asem banget! Enak apanya? Tapi lama-lama saya kok mikir, nih buah kayak kenal rasanya, asem sepet-sepet gitu. Tiba-tiba Bhai yang duduk di samping saya nyeletuk sambil merhatiin buah di tangannya; EH, INI MAH SALAK!  Haiyaaaa .... pantesan rasanya udah akrab banget. Lah, salak mah atuh di Tasik juga banyak. Enak dan manis pula. Di Thailand salak mentah dan belum akil baligh gitu aja pada doyan. Dodol ah!

Anyway, pantesan Foot dan Thai Massage itu terkenal ya, karena ternyata uenak tenaaaan. Badan yang udah ringsek jadi rilek dan enak lagi. Kata orang Sunda mah, jadi harampang lagi. Maaf ya Kang Maman, kamu saya turunkan jadi rangking 2 sekarang!

Pulang pijet udah jam 12 malem. Udah pada lemes-lemes gimanaaa gitu. Hehehe .... nyampe kamar, solat jama’, lalu tepar setepar-teparnya.

Eh lupa, ada kejadian yang tidak boleh dilupakan. Pulang dari Chao Phraya, sebelum pijet, kita sempet ke kamar dulu buat naro tas. Karena Kang Odoy nggak mau ikut, yawes saya dan Bhai aja yang pergi pijet. Sebelum pergi, saya bilang; “Kang Odoy, kunci kamar saya bawa ya? Kang Odoy mau langsung tidur kan, daripada nanti harus ngebangunin lagi. Kasihan.”

Kang Odoy yang udah teler langsung ngangguk-ngangguk setuju. Dia udah merem melek di kasurnya. Yawes, kuncinya saya bawa dan pintu kamar langsung ditutup. Berangkatlah saya dengan Bhai ke MagicHands. Dua jam kemudian kita kembali ke kamar. Tapi .... loh, kok pintu kamar kebuka? Terus, di dalam kamarnya gelap. Kang Odoy ke mana?

Kita masuk ke kamar dengan terburu-buru, lalu syok melihat Kang Odoy yang lagi duduk di kasurnya dengan wajah lesu.
“Kok belum tidur, kang?” tanya saya kaget.
“Iya, di kamar panas. AC-nya mati. Lampunya juga mati semua. Makanya pintunya saya buka,” jawab Kang Odoy lemes.

Daan ... saya pun melirik kunci yang sudah saya gantungkan lagi di tempatnya dengan  panik. YA AMPUN, bagaimana saya bisa lupa, kunci kartu itu kan sumber listrik di kamar ini? Kalau kunci itu tidak dimasukin ke slotnya, maka listrik di kamar ini pun akan mati dengan sendirinya. TOTAL!

Hiyaaaaa ... AMPUUUUN KANG ODOOOY .... HAMPURAAAAA ....
*Tabokin Iwok bolak balik*

Bersambung ke #Day3

Minggu, 14 April 2013

[Traveling] Jalan-Jalan Seru di Bangkok - Part 1

jual bantal foto Nggak pernah ngebayangin kalau suatu waktu bisa melawat ke Bangkok. Yang ada dalam setiap keinginan justru Singapura dan Kuala Lumpur terus. Kalau ada promo-promo tiket pesawat murah, yang selalu dicari adalah tujuan kedua kota tersebut. Tidak pernah sekali pun pengin tahu berapa tiket promo ke Bangkok. Tetapi, Allah berencana lain. Setelah sekian lama nguber Singapura dan Kuala Lumpur, Allah malah memberikan kesempatan untuk pergi ke Bangkok. It’s really a WOW! Really surprising.

Suatu ketika, saya mendapat undangan dari Benny Rhamdani, Chief editor lini Anak dan Remaja Penerbit Mizan, untuk mengunjungi Bangkok International Book Fair pada tanggal 4-7 April 2013. Ya jelaslah saya mau, ini kesempatan saya untuk mengenal dunia buku di luar sana. Apalagi kepergian ke Bangkok tidak hanya untuk berkunjung ke Book Fair, tetapi juga melakukan pertemuan dengan Minmie Bag Factory, produsen tas Minmie yang lisensi penerbitan bukunya di Indonesia dipegang oleh Mizan. Fyi, Mizan sudah menerbitkan picture book serial Minmie saat ini.

Selain saya dan Bhai Benny, ada 5 orang lain dalam rombongan; Fitria Chakrawati, Erna Fitrini, Nunik Utami, Dewi Cendika, dan Dodi Rosadi. Selain kang Dodi yang kerja sebagai desainer buku Mizan, yang lainnya adalah para penulis freelance di Mizan. Tahu bahwa kita bakalan berangkat rombongan, saya langsung semangat. Minimal kalau kita nyasar nanti di Bangkok, kita bakalan nyasar rame-rame. Horeeee .... #eh.

Mengingat jadwal keberangkatan pesawat pukul 8 (kemudian delay 25 menit) dan harus sudah check-in pukul 6, saya sudah berangkat dari Bandung (bareng Bhai) pukul 1 pagi naik Primajasa. So, jam 4 subuh kita sudah ada di bandara dong, masih sempet buat jogging dulu keliling Terminal 3 dan ngelapin pesawatnya dulu biar tambah kinclong. Sementara itu para peserta kontingen jam segitu baru pada bangun. Curaaaaang .... *pindahin Soetta ke Tasik*

Pukul 6 pagi, semua rombongan akhirnya berdatangan, dan kita langsung foto bareng. Hiyaaa ... check-in bareng ding! Lalu berduyun-duyunlah kita menuju immigrasi. Meski pernah punya paspor sebelumnya (dan pas kadaluarsa cuma dapet stempel satu doang. Hiks), tetapi mendapat stempel imigrasi pertama di paspor  yang baru berasa jadi pengalaman baru lagi. Yes, ke luar negeri lagiii! Hihihi ... norak ya? *Emang, tapi bodo ah*

#Day 1

Daaan ... pukul 08.25 Wib. Mandala Airways RI-900 pun mengudara menuju Bangkok. Horeeee .... jingkrak-jingkrak di atas pesawat. *digetok pramugari*

stasiun ARL Suvarnabhumi Airport
Nyampe Suvarnabhumi Airport pukul 12 siang disambut tulisan-tulisan keriting di mana-mana. Selamat, anda sudah sampai di Bangkok dan tidak nyasar di Jimbabwe, karena tulisan Jimbabwe kan bukan begitu *mungkin*.

Karena kita butuh eksis selama di Bangkok, maka tujuan pertama kita adalah ... nyari tukang pulsa! Sayang, si Yayan, OB kantor langganan saya beli pulsa, nggak jualan simcard di Thailand, jadinya saya harus ikut ngantri di sebuah stand operator selular di luar pintu kedatangan. Saya harus segera apdet status ‘Horeee ... akhirnya nyampe Bangkok’, jadi Gtab saya perlu segera dibangunkan. Sebenarnya, bisa aja sih saya pake fasilitas internasional roaming dari Telkomsel. Tapi, harus bayar ratusan ribu rupiah untuk apdet-apdet status doang? Oh tidaaaak ... ratusan ribu rupiah bisa jadi sekarung oleh-oleh tuh, sayang amat Cuma buat roaming doang? Jadilah saya membeli simcard ‘Happy Turist’ dari operator DTAC seharga 349 baht untuk unlimited internet selama 7 hari. Dan, meluncurlah apdet status yang pertama. Hihihi.

Beres urusan ngeksis, kita serodotan ke lantai bawah, menuju stasiun ARL (Airport Rail Link). Wiiih ... ini bakalan jadi kali pertama saya naik kereta di luar negeri, makanya langsung semangat. Bahkan, begitu kita naik dan duduk, saya langsung nyodorin Gtab saya; “Eh, fotoin dong.”

PRETT!

Dan foto saya di ARL (lengkap dengan koper-koper) menjadi foto pertama saya di Bangkok yang teraplod di facebook. Yes, it’s time buat pameeeer ... hahaha *ditabokin orang-orang yang enek* Maaf ya, harap maklum kenorakan kami, eh .. saya.

Foto pertama yang diaplod di Facebook. wkwkw
Karena hotel kita berada di area Lumpini, kita sengaja turun di stasiun Phaya Thai untuk nyambung dengan BTS Skytrain. Ongkos ARL dari Suvarnabhumi ke Phaya Thai adalah 45 baht. Yang ini bukan buat pamer, tapi siapa tahu ada yang pengen tahu. Dari stasiun ARL kita langsung geret-geret koper menuju stasiun BTS di lantai bawah. Parahnya, di Phaya Thay ini nggak ada eskalator, jadinya kita harus turun-naik tangga sambil nenteng koper segede bagong. Kenapa koper kita gede-gede? Pssstt ... buat persediaan tempat oleh-oleh nanti! *beuuh*

Dari Phaya Thai kita naik Skytrain menuju stasiun Asok. Bayarnya 30 baht. Yaaay ... naik kereta kedua kalinya siang itu. Foto lagi? Nggak ah, soalnya keretanya penuh! Malu sama orang-orang. Hehehe. Tar aja kalo keretanya dapet yang kosong *niat emang*. Turun di Asok, kita meluncur ke stasiun MRT Sukhumvit. Geret koper lagiiii .... beli tiket lagi, lalu ngaclok ke dalam MRT dengan tujuan stasiun Lumpini. Wiiih ... naik kereta yang berbeda ketiga kalinya dalam tempo satu jam saja. Bayarnya kali ini 20 baht saja.

Eh, sebenernya, dari Suvarnabhumi ke Lumpini itu nggak perlu ke Phaya Thai dulu, tapi cukup berhenti di stasiun Makkasan, lalu pindah ke MRT Phetchaburi. Dari Phetchaburi langsung ke Lumpini. Jadi nggak perlu naik Skytrain segala. Tapi berhubung pengetahuan kita terbatas (dan emang pas-pasan, sih), akhirnya kita muter dulu ke Phaya Thai.

Lumpini! Ini destinasi terakhir dari perjalanan kita dari kereta ke kereta. Stasiunnya cukup bagus, jauh di dalam tanah. Ada eskalator yang panjang dan curam banget menanjak ke atas (dan turun deras (eh, kayak hujan aja?) untuk sebaliknya). Lumayan nggak perlu manggul koper lagi buat naik. Tapi, begitu kita sampai di luar, apakah yang terjadi?

Hotel kita ada di mana? Nah loh. Pemandangan asing langsung terasa, dan menyadarkan saya bahwa ini bukan di Tasik! Huhuhu. Kita berada di perempatan jalan yang entah namanya apa. Yang jelas, banyak mobil, bus, dan tuktuk berseliweran di jalan raya (ya iyalaah .... namanya aja jalan).

“Kita ke mana sekarang, Wok?”

Nah, loh, ketiban pulung nih. Dari awal saya memang yang memegang peta dan itinerary, termasuk yang booking hotel ini! Kalau di google maps sih kayaknya udah kebayang lokasi hotel ada di mana, tapi pas lihat aslinya ... hiyaaaa ... kenapa jadi begini? Yang ada di bayangan saya buyar semua! Tidak sesuai yang ada di google! *tabok google map*

“Kalo waktu lihat di google map sih, kayaknya di seberang sana!” saya nunjuk ragu-ragu ke arah rerimbunan pohon, semak, dan reruntuhan bangunan di seberang jalan. Huwaaa ... apa hotel yang saya pesan sudah dirubuhkan? Yang  saya inget, Pinnacle Lumpinee Hotel yang saya booking ada di seberang stasiun Lumpini. Berarti ... semak-semak itu?

“Nggak mungkin!” kata Bhai Benny. Saya ngangguk setuju. Emang nggak mungkin sih, masa iya kita harus tidur di bawah pohon atau semak? Hiiiy .... gimana nih?

Tiba-tiba, seorang cewek cantik muncul dari eskalator. Kita pun segera menangkap dan membantingnya!  Halah, mencegat dan menanyainya. Untungnya tuh cewek ternyata fasih bahasa Inggrisnya (fyuuuh), jadinya Mba Erna bisa nanya-nanya sama dia. Hihihi ... kirain saya yang nanya, ya? Dan ternyata tuh cewek sama bingungnya pas ditanya tentang lokasi hotel. Dia menggeleng tak jemu-jemu saat ditanya “dimanakah hotel Pinnacle Lumpinee itu?” Hiyaaa ... orang Bangkok aja nggak tahu, apalagi orang Tasik, kan?

Akhirnya Cewek Itu minta waktu dulu buat pipis ngintip Samsung Note-nya (suwer, ini bukan iklan), lalu tak-tik-tuk sibuk sendiri. Lalu dia ngangguk-ngangguk, terus ngomong; “sigana mah di palih ditu hotelna.” Haiyaaah ... boong ding, dia ngomong pake Inggris kok, bukan bahasa Sunda. Dia nunjuk-nunjuk ke arah kanan stasiun. Dia bilang sih nggak begitu yakin juga. Hanya saja kalau dilihat dari alamat hotelnya sih, ya memang sebelah situ, katanya. Saya sih yakin, tuh cewek pasti belum pernah nginep di hotel itu, mangkanya dia nggak tahu. *lagian ngapain orang Bangkok nginep di Bangkok?* #tabok

Setelah mengucapkan hatur nuhun, kita pun menggeret koper ke sana. Dan tolong di catat, saat itu sudah pukul 3 sore, dan masih panaaaas banget. Kabarnya, suhu udara di Bangkok belakangan itu mencapai 40 derajat celcius. Cegluk. *air mana aiiiiir ...* Terus, pukul 3 sore tuh nggak ada adem-ademnya, matahari masih galak banget.

Ngejogrog pinggir jalan saat nyasar! :p
Dari dalam kendaraan yang berseliweran, para penumpang melihat 7 orang kucel dan keringetan (plus tampang pasrah akibat nyasar)  sedang menggeret-geret koper di trotoar jalan.

Kenapa kita tidak menggunakan taksi saja? Karena eh karena, informasi yang diperoleh dari website hotel, dari stasiun MRT ke hotel itu tidak jauh, cuma 100 meter saja! Dengan catatan ... kalau nggak nyasar!

Hmmm ... sebenarnya, siang itu kita ada janji untuk kunjungan ke Minmie Bag Factory. Dan perwakilan dari Minmie akan datang menjemput di hotel pukul 1! Sementara itu, pada pukul 3 siang itu, kita masih ngegeret-geret koper entah di mana. Sebelumnya sih sudah di SMS juga kalau kita bakal datang telat karena pesawat delay, lalu perjalanan dari bandara ke hotel yang mungkin memakan waktu lama. Dan Ms. Intira dari Minmie ngejawab; “It’s ok. I’ll wait at the hotel.”

Jalan seolah tidak berujung. Hotel Pinnacle Lumpinee tidak kelihatan juga. Yang ada malah Lumpini Tower. Sama-sama Lumpini sih, tapi sudah jelas gedung yang beda. Kebingungan, kita pun ngos-ngosan sambil ngadem di bawah pohon pinggir jalan. Mudah-mudahan nggak ada orang Indonesia yang mengenali dan lalu merasa trenyuh karena saudara sebangsa dan setanah airnya begitu terlihat nelangsa di negeri orang.

“Telepon Miss Intira, dan tanya lokasi hotelnya di mana?” kata Bhai ke ... Mba Erna. Hehehe ... resiko yang bahasa Inggrisnya paling jago ya, Mba? Dan mba Erna pun segera pingsan nelepon. Kesimpulan dari obrolan teleponnya, ternyata : “Katanya nggak jauh dari Lumpini Tower!”

Lah, Kita kan ada depan Lumpini Tower! Dan ternyata saudara-saudara sekalian, dari tempat kita ngegelosor tadi, kurang lebih tinggal 50 meteran lagi. Coba tadi kita tidak pasrah dulu ya, pasti langsung ketemu hotelnya. Yasudlah, yang penting hotelnya sudah ketemu. Horeeee ... ternyata, saat keluar dari stasiun MRT tadi, kita salah ambil pintu EXIT. Harusnya kita ambil EXIT 1, eh malah nyelonong ke EXIT 2. Jelas aja keluarnya beda jalan. Dan yang pasti, selisih jaraknya jauuuuh . Dari pintu EXIT yang bener, jarak ke hotel memang sekitar 100 meteran. Kalo jalan sambil engklek aja paling hanya 5 menitan sampe. Doooh.

Meeting di Lobi Hotel
Nyampe hotel sudah dekil semua. Apalagi saya! Gimana nggak dekil kalau saya pergi dari rumah di Tasik jam 6 sore, dan sekarang sudah hampir 24 jam kemudian! Nggak sempet mandi dan ganti baju pula! Waks! *sniff ... snifff* Semoga orang hotel nggak akan menganggap orang Indonesia dekil begitu selamanya, soalnya kalo sudah mandi saya bakalan kembali ke wujud asalnya; kiyut lagi. Tunggu aja nanti! I’ll be right back! *ngacir ke kamar*

Oya, mungkin karena enek lihat wajah-wajah kita yang lusuh, Miss Intira nyuruh kita mandi dulu aja, dan dia nggak keberatan buat nunggu (lagi) di lobi. Ciyaaaat ... semua pun bubar jalan untuk segera berubah penampilan. Demi citra bangsa dan negara juga. *halah* Setengah jam kemudian (atau lebih. Maklum harus gantian), kita pun sudah ngobrol asyik di lobi, lupa kalau setengah jam yang lalu kita masih terlantar di pinggiran jalan di tengah kota Bangkok. 

Karena sudah kesorean, kunjungan ke Pabrik Minmie pun batal. Kita hanya ngobrol-ngobrol dan ditraktir minum di resto hotel. Huwaaa .... *nangis Bombay* Yaweslah, mau gimana lagi, salah siapa tadi nyasar dulu?

Beres pertemuan dengan Minmie, kita pun mulai melirik itinerary yang sudah disiapkan, yaitu mengunjungi Madame Tussauds di Mal Siam Paragon. Mari kita laksanakan! Karena Ibu-ibu numpang mobilnya Miss Intira, saya dan Bhai serta Kang Odoy kembali menjajal MRT. Lumayan sudah pengalaman, jadi nggak perlu ribet lagi. Dari Stasiun Lumpini kita menuju Stasiun Sukhumvit (bayar 20 baht), lalu pindah ke Stasiun BTS Asok untuk menuju Stasiun Siam. Bayarnya 25 baht. Enaknya, keluar dari stasiun Siam ada pintu Exit yang menghubungkan langsung dengan Siam Paragon. Jadi nggak perlu nyasar dulu. Hehehe.


Sambil nunggu Ibu-Ibu datang, kita sempet mejeng dulu di depan mal. Kabarnya, Siam Paragon ini adalah mal paling kece di Bangkok, jadi sebagai bukti kalau kita sudah pernah ke sana, foto-foto adalah wajib hukumnya. Hihihi. Lama nungguin Ibu-Ibu, akhirnya saya SMS mereka. Ealaaah ... mereka ternyata sudah datang duluan dan lagi nunggu makanan datang di Secret Recipe. Halah, padahal perut saya juga sudah kerucukan gara-gara belum nemu makanan serius sejak kemarin sore. Kasihan, ya? Makanya, saya tidak bisa terima mereka makan duluan. Saya juga lapaaaar.

Saya pesan Noodle Tom Yam dan air mineral seharga 289 baht. Alhamdulillah ... akhirnya bisa ngerasain juga tom yam asli di negeri asalnya. Dan rasanya? Memang bener-bener beda dibanding yang pernah saya cobain di tanah air. Yang ini rasanya lebih maknyus, seger dan pedeees. Trus, porsinya jumbo pula. Udangnya pun segede-gede gajah udang! Haiyaa... Pokoknya tom yam saya ludes sampe tetes terakhir *ini sih akibat kelaparan deng*. Pokoknya recommended lah.

Noodle Tom Yam. Lihat udangnya!
Beres makan energi nambah lagi. Huhuuuy ... punya tambahan tenaga buat nyatronin Madame Tussauds (Museum Patung Lilin). Lokasi wisata ini sudah disepakati untuk didatangi sejak jauh hari. Bahkan, kita sudah pesan tiketnya via online biar dapet potongan diskon 20%. Lumayan kan, dari harga tiket normal 800 baht bisa turun jadi 640 baht per orang. Ngirit 120 baht, cukup buat beli gantungan kunci 8 biji!

Bangkok memang beruntung, karena Madame Tussauds ini hanya berada di beberapa kota saja di seluruh dunia. Di Asia hanya terdapat di Bangkok, Hong Kong, dan Shanghai. Yang lainnya ada di Amsterdam, Berlin, Hollywood, Las Vegas, London, New York, dan Washington DC. Karena itulah saya merasa harus mengunjungi tempat ini, karena belum tentu saya berkesempatan mengunjungi kota-kota lainnya tempat museum ini berada.

Diwawancara Oprah untuk Novelku yang baru :p
Mungkin nggak ada atraksi luar biasa di dalam museum ini, kecuali jajaran selebritas yang selama ini hanya saya kenal dari berbagai media. Tapi, melihat dari dekat patung lilin mereka (yang sangat mirip aslinya) bikin merinding juga. Tokoh-tokoh dunia ini tampak begitu nyata di di depan saya. Bener-bener yang bikinnya jago banget. Dari warna kulit, rambut, mata, sampai ke tinggi badannya pun dibikin dalam ukuran sebenarnya. Sayangnya cuma satu, nggak bisa diajak ngobrol aja! *tapi saya bakalan ngibrit kalau ternyata patungnya bisa ngomong. Hiiiy*
Kata Jim Carrey; "Novel ini gokil abiiiis!"

Tom Cruise, pemeran Roslan untuk 'Traveling Gokil' the movie :p
Beres dari Madame Tussauds kita turun dan muter-muterin Mal. Eh, nyasar ke Mal Ma Boon Khrong Center, salah satu mal populer lainnya di Bangkok. Karena udah jam 9 malem, kita cuma jeprat-jepret bentar di luar. Sekadar ninggalin jejak juga, that I’ve been there! Tujuan kita adalah Stasiun BTS National Stadium biar bisa langsung pulang. Untuk sampai ke Lumpini, kita harus turun di stasiun Sala Daeng, lalu ganti kereta ke MRT Silom. Tapi, pas mau pindah ke MRT Silom, kita sempat melihat keramaian di bawah sana (stasiun skytain kan memang di atas). Kayaknya suasana malam di Silom rame juga nih.

“Turun dulu, yuk?”
Siapa sih yang mau rugi jauh-jauh ke Bangkok buat pindah tidur doang?  Ajakan ini langsung disambut dengan gegap gempita, meski sebenarnya betis sudah mulai nyut-nyutan dengan merana. Asli pegel banget. Tapi, semakin banyak tempat yang bisa dijelajah semakin baik, bukan? *Bukaaaan ....*

So, turunlah kita ke jalanan Silom yang rame banget. Sepanjang jalan banyak banget yang jualan makanan. Tapi, meski perut saya mulai kelaparan (lagi), rasanya ngeri juga jajan-jajan di sana. Lihat ayam-ayam bakar yang digantungin aja kok nggak ada bekas sembelihannya, ya? Adanya bekas lubang menganga di bawah kepala. Ayamnya dimatiin dengan cara dicolok? Waks! Belum lagi daging-daging yang selalu ada di setiap jenis makanan yang dijual. Tapi perut saya lapaaar ... semangkuk gede Tom Yam tadi sepertinya tidak cukup menggantikan energi yang terbuang sesiangan ini. Akhirnya mata saya melirik sebuah panci di pinggir jalan. Di sana terhidang jejeran ... Jagung rebus! Ayayay ... I love jagung. Apalagi jagung Bangkok ini bikin ngiler. Bener-bener Bangkok, cuy. Gede banget! Ada kali segede lengan saya. Akhirnya saya, Ichen, dan Fita kompakan beli. Harganya 40 baht. Rasanya? Ajegile, enak bangeeet. Sumprit! Rasanya manis banget, manis yang manis asli dan bukan manis gara-gara pemanis gula. Kalo nggak percaya, sok aja beli ke sono. *saya nitip ya*

Ada tukang martabak telor di Bangkok!
Sementara itu Bhai tergoda membeli buah mangga potong yang menggiurkan. Kebayangnya kan manis ya? Atau manis asem seger gitu lah. Tetapi pas dicobain .... busyet dah, asemnya gila-gilaan. Sampe tuh mangga akhirnya kebawa ke hotel dan masih tetap utuh sampe hari terakhir kita di Bangkok. Hahaha.  #episode salah beli.

Silom oh Silom. Kita tidak pernah menyangka kalau daerah ini ternyata salah satu red distriknya Bangkok. Hanya gara-gara suasananya rame, kita tertarik buat turun dan jalan-jalan. Ternyataaa ... oow, selain yang jualan makanan, sepanjang jalan rame pula penjual DVD dan barang-barang mainan anak gede. Iya, yang itu! Hihihi ... mana saya bawa rombongan Ibu-Ibu pula, dan berjilbab pula! Tobaaaat .... Makanya pas besoknya kita ketemu Miss Intira dan tahu kalau semalamnya kita main ke daerah Silom, dia terbelalak kaget. “You bring all the girls too?” Pas saya jawab “Iya!”, dia Cuma melotot sambil ngebekep mulutnya. Hahaha.

Setelah cukup melihat banyak kekagetan, kita pun mindik-mindik mencari jalan menuju stasiun MRT Silom, soalnya nego sama supir tuktuk tidak tercapai kata sepakat. Masa dia minta 200 baht? Gila aja, mending naik taksi aja sekalian.

Kaki sudah pegel (asli dan bukan rekayasa) dan sudah pukul sebelas malam. Saatnya kita kembali ke kandang. Dari Silom ke Lumpini deket banget, Cuma satu stasiun saja! Belum sempet duduk enak, eh udah nyampe lagi. Bayarnya pun cuma 15 baht saja. Nyampe hotel nggak sempet mandi lagi, udah keburu lemes dan tepar duluan.

Zzzzzzz ... zzzz .....

Bersambung ke #Day2