Selasa, 29 April 2014

[Review Buku] LAGUNA menurut Ragil Duta

jual bantal foto
Udah lama juga blog ini gak tersentuh. Biasalah, kalau blogger separuh napas ya gini ini, cuma ngeblog kalau kalau ada napasnya. Hari ini saya tiba-tiba pengen ngeblog dan (mungkin) blogwalking setelahnya, gak tega juga ngeliat blog nganggur terlalu lama. Tapi tadi sempat bingung mau nulis apa, akhirnya memutuskan untuk ngebahas buku yang pernah saya beli.

Lha tapi untuk bisa ng e b a h a s buku yang sudah dibeli itu tentu saya sebelumnya harus sudah m e m b a c a buku tersebut, bukan? Beli doang tapi gak dibaca mah gimana mau ngebahasnya coba? Bahas sampulnya? Doh.

Akhirnya, di tengah pekerjaan hari ini saya menyempatkan membaca novelnya Kang Iwok Abqary yang berjudul Laguna. Alasan saya waktu membeli Laguna ini karena tertarik dengan selentingan bahwa Kang Iwok menulis sebuah cerita roman. Setahu saya, selama ini Kang Iwok lebih banyak menulis cerita komedi remaja. Jadi daripada penasaran, saya belilah novel ini. Tapi ya gitu deh, belinya bulan Februari, bacanya baru tadi. Sok sibuk kalipun gue ini.

Nah setelah baca bukunya, sekarang saatnya saya menceritakan pendapat saya tentang novel Laguna ini. Semoga Kang Iwok gak baca, karena saya mau cela-cela novelnya. Here we go…

Begitu membuka halaman pertama untuk memulai membaca novel ini, saya sudah disuguhi oleh bumbu konflik antara dua tokoh utama dalam kisah ini. Cih! Bencik banget gue. Batal deh tuh rencana mbaca selama 30 menit, jadinya malah mbaca selama 1 jam. Iya, tadinya saya cuma berencana membaca novel ini selama setengah jam sebelum makan siang. Setelah itu saya mau bekerja lagi. Lalu nanti lanjut membaca novelnya setelah selesai kerja. Tapi ya rencana tinggal rencana. Kenyataannya malah jadi lupa makan gara-gara disuguhi bahan konflik di awal cerita itu.

Cerita utama di novel ini memang seputar konflik antara Arneta dan Mark. Arneta adalah seorang Sales & Marketing Manager di Blue Lagoon Resort dan juga anak dari pemilik resort tersebut. Sementara Mark adalah orang yang baru ditunjuk sebagai General Manager oleh ayahnya Arneta. Nah, jadi pasti ceritanya bakal menarik kan ya? Nggak juga sih. *dijitak Kang Iwok*

Kalau soal inti ceritanya, novel roman ringan ini memang biasa, berawal dari konflik dan berujung pada percintaan. Biasa banget tho? Tapi cara Kang Iwok mengemas keseluruhan cerita di novel ini yang membuat saya jadi batal makan siang. Seperti biasa, tulisannya mengalir dan menarik. Cuma karena saya harus menyelesaikan kerjaan siang tadi, mau nggak mau saya harus berhenti membaca novel ini di tengah cerita. Begitu kerjaan rampung, saya segera melanjutkan membaca sampai tuntas.

Kalau di awal cerita tadi saya dibuat terkejut karena sudah dikasih bumbu konflik yang membuat saya batal makan siang, di tengah cerita pun saya lagi-lagi dibikin males melepas buku ini karena diberi kejutan dengan munculnya tokoh Galang. Tokoh ini adalah mantan pacar Arneta. Cerita jadi makin seru. Ya tentunya ’seru’ di sini adalah serunya novel roman ringan. Bukan tipe ’seru’ dalam novel petualangan atau cerita misteri yang menguras otak. Tapi kadar seru di novel ini cukup untuk mengalihkan kegalauan dalam kisah roman dalam hidup saya sendiri. Kok malah curhat, Gil? *keplak*

Menjelang bagian akhir cerita, masuknya tokoh Galang ini mulai mengganggu rencana-rencana Mark selama di Blue Lagoon. Rencana apa? Itu dia yang mbikin novel ini seru. Ternyata perseteruan antara Mark dan Arneta itu sebenernya memang sengaja diciptakan oleh Mark. Lalu sampai menjelang a k h i r dari bagian akhir cerita, hadeuh…ribet banget ya kalimat gue, masih aja saya disuguhi alur yang menggemaskan antara Mark dan Arneta.

Iya sih, sejak awal saya sudah menduga bahwa cerita di novel ini akan berakhir dengan kisah yang membahagiakan, ya selayaknya novel roman yang ringan gitu deh. Tapi ketika sedang membaca bagian yang menggemaskan itu, saya sempat menggerutu dalam hati…haelah..kenapa gak langsung ending aja sih? Masih aja gue dibikin penasaran. Jadi kesannya tuh Kang Iwok gak rela gitu kalau Mark sama Arneta segera mendapatkan cinta bahagia mereka secepat mungkin. Teteup harus ditahan-tahan dulu sekejap, baru kemudian dipertemukan dengan indahnya kisah asmara antara dua sejoli yang tampan dan cantik jelitah dengan bungkus romantisnya suasana malam di kapal ferry…TARAKDUNGJESSS.

Jadi kalau kalian penasaran dengan; gimana cara membuat sebuah cerita roman biasa menjadi menarik, saya sarankan beli dan baca novel ini. Juga bagi yang suka dengan bacaan ringan untuk menjadi kawan selama menunggu antrian dokter atau mundurnya jadwal penerbangan, novel ini wajib dimiliki. Atau mau dijadiin pajangan di tembok juga boleh, cover bukunya seger banget! Beli deh. Gak rugi kok.

Lha terus mana celaannya, katanya tadi mau nyela Kang Iwok? Jiah…gak mungkin lah saya berani nyela teman setongkrongan di Seven Eleven!

Diambil dari : http://tukangecuprus.com/review-buku-laguna/

Senin, 28 April 2014

[Review] Berliner Brotfabrik Konditorei & Cafe

jual bantal foto


Berliner Brotfabrik

Mendung sudah menggelayut saat saya dan rombongan KWKT (Komunitas Wisata Kuliner Tasikmalaya) merapat ke Jalan Mayor Utarya. Hari masih cukup siang, baru pukul setengah 2, tetapi gelagat turun hujan sudah mulai terasa. Kami harus segera bergegas apabila tidak ingin agenda siang ini menjadi sia-sia. Ada sebuah target yang harus kami cicipi siang itu, dan sepertinya tidak bisa ditunda lagi. Tongkrongan ini sedang menghangat belakang ini, seiring baru diresmikan grand launching-nya. Sebagai ‘komplotan’ pemburu kuliner di Tasikmalaya, rasanya kami tidak boleh ketinggalan langkah dibanding penikmat kuliner lainnya. Karena itu, meski hanya dihadiri beberapa gelintir orang saja, kopdar KWKT Minggu ini harus tetap dilaksanakan. Let’s go!

Joghurtsahnetorte - Rp. 13ribu
Tepat di samping SD Citapen, anggota KWKT yang kali ini umpel-umpelan di dalam mobil Kang Guguh akhirnya sampai di sasaran. Nuansa serba hijau langsung terasa bahkan ketika kami baru menjejak di halaman berumput yang cukup lapang. Beberapa pasang kursi dan meja besi, serta payung-payung lebar tertata rapi di beberapa penjuru halaman, semua bernuansa serbahijau. Foto-foto ukuran raksasa terpajang manis menutupi sepanjang dinding tembok. Ada yang terasa asing dengan foto-foto tersebut, karena sama sekali tidak menampakkan suasana lokal tanah air. Foto-foto ini menyajikan pemandangan negeri yang cukup asing. Setidaknya, bukan pemandangan yang biasa kita lihat sehari-hari.

Ke manakah sebenarnya kita menuju?

Berliner Brotfabrik Konditorei & Cafe. Tulisan itu terpajang jelas di depan bangunan berdinding putih dengan sentuhan –lagi-lagi—warna hijau. Wangi roti dari panggangan langsung menguar tajam saat langkah kami semakin mendekat. Hmmm ... cukup menggelitik penciuman dan membuat perut berkeriuk ribut. Nyam-nyam nih.

Strawberrysahnetorte - Rp. 13ribu
Buat sebagian orang, nama Berliner Brotfabrik mungkin masih terdengar asing. Bukan saja karena namanya yang tidak familier, tetapi juga karena memang tempat ini belum lama hadir. Ya, kali ini kita menyerbu tongkrongan baru, yang baru hadir sebulan terakhir, menyemarakan ragam kuliner di Tasikmalaya. Meski sudah mulai beroperasi sejak tanggal 13 Maret, Berliner Brotfabrik baru diresmikan pada tanggal 29 Maret.

Lalu, mengapa namanya harus serba asing seperti itu? Di tengah rintik hujan yang mulai turun, kami cukup beruntung. Kang Hena Muliana, pemilik cafe ini, mau bergabung bersama kami untuk sedikit bercerita mengenai latar belakang pendirian cafe ini, dan menjelaskan tentang serba-serbi roti andalannya.

Brotchen Mit Wurst - Rp. 9ribu
Berliner Brotfabrik berasal dari bahasa Jerman. Brot adalah roti, Fabrik adalah Pabrik. Sudah jelas kan maksudnya? Sementara Berliner sendiri diambil dari kata Berlin, Ibukota dari negara Jerman. Secara selintas saja bisa diartikan kalau Berliner Brotfabrik adalah Pabrik roti dari Berlin (Jerman)! Tidak semata-mata Kang Hena mengambil nama berbau Jerman seperti ini kalau tidak ada kaitannya dengan kuliner yang disajikannya. Ya, di tempat ini anda bisa menikmati beragam roti, kue, dan pizza khas asal Jerman. Unik? Tentu saja. Belum ada tempat lain (di Tasikmalaya) yang benar-benar menyajikan penganan-penganan khas dari negara Hitler ini. Apalagi, semua roti yang disajikan benar-benar fresh from the oven!

Kenapa Kang Hena tiba-tiba tercetus untuk membuka cafe dengan menyajikan roti-roti dari negeri yang jauh ini? Kenapa bukan berjualan cilok saja yang asli Tasik? Itu yang akhirnya kami tanyakan. Ternyata, semua berawal dari kiprahnya sebagai konsultan bahasa di sebuah perusahaan di Jerman. Seringnya wara-wiri ke Jerman membuatnya sering mengamati dan mencicipi beragam kuliner di negara tersebut. Keinginannya untuk membuka sebuah cafe ala Jerman pun tercetus saat kontrak kerjanya di sana sudah berakhir. Apalagi rekan kerjanya di Jerman menanyakan hal tersebut; “Setelah ini, apa yang ingin kamu lakukan di Indonesia?”

Cremebretzel - Rp. 8ribu
Dijembatani sebuah lembaga sosial yang berorientasi pada pengembangan potensi usaha pemuda di negara-negara berkembang, Kang Hena pun mendapatkan peluang tersebut. Selama dua minggu, beliau mendapatkan pelatihan usaha di bidang bakery di Jerman. Tidak hanya itu, selama 3 bulan, Kang Hena ditempatkan di sebuah pabrik roti ternama di Jerman untuk magang. Berbekal pelatihan dan pengalamannya selama magang, akhirnya Berliner Brotfabrik pun segera berdiri di Tasikmalaya.

Nyam-nyam!
Menyajikan penganan yang berasal dari luar negeri tentu tidak bisa main-main. Banyak standar yang ditentukan dan harus diterapkan oleh Kang Hena. Salah satunya adalah penggunaan bahan-bahan yang tidak bisa digonta-ganti seenaknya. Karena itu, untuk mempertahankan cita rasa agar sesuai dengan rasa aslinya di Jerman sana, Berliner Botfabrik tetap menggunakan bahan-bahan yang diimpor langsung dari negara asalnya. Kang Hena menjamin roti-roti buatannya dibuat sesuai resep yang pernah dipelajarinya selama di Jerman. Tidak hanya itu, supervising langsung dari guru-gurunya di Jerman tetap berlangsung sampai sekarang. Setelah hadir pada grand launchingnya, supervisor-nya dari Jerman akan datang kembali pada bulan Juni untuk mengontrol pengembangan usahanya. Mantap, kan?

Berliner Brotfabrik adalah tempat nongkrong yang asyik sambil cemal-cemil dan ngupi-ngupi. Berada di ruas jalan yang tidak dilalui jalur utama kendaraan membuat suasananya tidak terlalu bising. Meskipun begitu, lokasinya yang berada di tengah kota membuatnya mudah dijangkau dari mana-mana. Sayangnya, tongkrongan ala outdoor seperti ini menjadi tidak asyik lagi kalau turun hujan, karena payung-payung lebar tidak cukup menaungi air hujan yang terbawa angin. Bisa basah kuyup!

Member KWKT bareng Kang Hena Muliana (kiri)
Bagaimana dengan rasa kulinernya? Karena tidak mungkin memesan semua jenis penganan yang ada, kami mencicipi beberapa di antaranya. Meski namanya sering bikin kepleset lidah, atau malah nggak hapal saking belibetnya, tapi rasanya maknyus! Coba saja lihat foto-foto yang ada di sini, dan bayangkan kelezatannya seperti apa. Penasaran? Ayo, langsung serbu ke TKP!

Berliner Brotfabrik Konditorei & Cafe
Alamat : Jl. Mayor Utarya no. 46 Tasikmalaya
Buka : Pukul 10.00 – 19.00 Wib
Range harga : Rp. 7ribu – Rp. 13ribu


Kamis, 24 April 2014

[Terbit] Novel Teenlit DANDELION

jual bantal foto

Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 200 halaman
Terbit : 24 April 2014
Cover : Softcover
ISBN : 978-602-03-0431-1
Harga : Rp. 55.000,-
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama .


Sinopsis

Yara
Aku tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran Ganesh. Kalau dia benar-benar menyayangiku, tolong katakan tiga kata saja, “Yara, jangan pergi!”. Itu saja!

Ganesh
Aku harus membiasakan diri pada posisi bermimpi ketika bersama Yara. Saat dia melepasku, saat itulah aku harus terbangun. Kami ditakdirkan untuk melangkah di jalan yang berbeda.

Perpisahan itu mengambang begitu saja. Yara meninggalkan Jakarta menuju Singapura dengan hati terluka. Tidak ada kabar sedikit pun dari Ganesh menjelang kepergiannya. Tidak ucapan selamat jalan, bahkan selamat tinggal. Ganesh seolah raib ditelan waktu. Jejaknya tak terlacak, menyisakan tanda tanya besar di benak Yara. Cowok itu berutang sebuah penjelasan, yang akan ia kejar sampai kapan pun.

Yang menghubungkan mereka dalam jarak dan waktu hanya satu: DANDELION.

Selasa, 15 April 2014

Sehari Berbagi Bersama Kelas Inspirasi

jual bantal foto
Pukul setengah 6 pagi, saya sudah meluncur menuju Kabupaten Ciamis. Hari ini, Senin, 14 April 2014 akan menjadi momen istimewa buat saya. Kelas Inspirasi wilayah Priangan Timur akan dilaksanakan serentak di 2 kota; Tasikmalaya dan Ciamis. Mengambil tempat di 8 Sekolah Dasar yang berbeda, kurang lebih 90 orang relawan (inspirator dan dokumentator) akan hadir di depan lebih dari seribu anak-anak dalam waktu yang bersamaan. Tujuannya adalah satu; memberikan inspirasi dan wawasan lebih mengenai beragam profesi yang disandang setiap inspirator.

Inspiratornya aja heboh begini, apalagi siswanya ya? :D

Selain rasa semangat yang mulai terpupuk sejak beberapa hari belakangan, ada rasa gugup yang mulai terasa; bisakah saya menginspirasi anak-anak nanti? Bisakah saya berdiri di depan kelas layaknya seorang guru, dan bercerita dengan asyik tentang sebuah profesi? Meluncur di jalanan menuju Ciamis, pikiran saya berupaya keras mengabaikan rasa panik yang sempat melanda seharian kemarin akibat mundurnya 2 orang relawan dari tim karena berbagai kepentingan. Dari 6 orang relawan yang dijadwalkan, tinggal 4 orang inspirator (plus 1 orang dokumentator) yang akan melaju. Perubahan formasi tim ini sedikit banyak mengharuskan kami segera menyusun ulang jadwal rombongan belajar dan program ajar yang akan disampaikan. 4 orang untuk mengisi 6 kelas memang akan sangat timpang, karena  artinya akan ada kelas-kelas kosong di waktu berjalan.

Tetapi, setiap niat baik –insya Allah— akan  diberikan banyak kemudahan, itu yang akhirnya kami yakini. Perubahan formasi tidak boleh merusak semangat kami yang sudah terbentuk. Bismillah ...

“Para profesional mungkin hanya meluangkan waktu cuti kerja satu hari saja, tetapi buat anak-anak Indonesia mungkin akan memberikan kesan dalam selamanya”

Tagline itu sangat melekat dalam benak saya. Satu hari mungkin hanya waktu yang sangat singkat. Tetapi, kita tidak pernah tahu kalau satu hari itu mungkin akan merubah banyak masa depan negeri ini. Itulah yang membuat saya (dan kami) kembali memupuk semangat. Kita bisa!

Saya mendongeng di depan kelas 1 dan 2. Sampai naik-naik kursi saking semangatnya!
SD Negeri Handapherang 2 Ciamis, sebuah sekolah sederhana di pinggiran kota. Tidak terlalu jauh dari pusat kota sebenarnya, hanya memakan waktu 10-15 menit berkendara. Dibanding sekolah dasar yang berada tepat di sampingnya (bahkan berdempetan bangunan), sekolah ini seolah ‘tak terlihat’ (bahkan saat survey lokasi, kami bablas kelewatan).  Hanya ada pintu gerbang kecil dan tangga menanjak untuk memasuki area sekolah ini dari pinggir jalan. SDN Handapherang 2 seolah berada dalam bayang-bayang Sekolah Dasar yang ada di depannya.  Bangunannya hanya terdiri dari 7 ruangan; 6 ruangan kelas, dan 1 ruang guru/kepsek . Plus 1 mushola yang cukup bersih di sampingnya. Tidak ada lapangan luas, hanya ada ruang terbuka ukuran sekitar 4x4 meter yang bahkan tidak cukup untuk dipergunakan pelaksanaan upacara bendera. Setiap hari Senin, seluruh siswa yang berjumlah 140 orang diikutkan dalam upacara bendera di sekolah sebelah. Tidak ada aula, laboratorium bahasa/komputer, atau ruangan perpustakaan khusus. Siswa harus puas dengan fasilitas terbatas yang ada.  Dan ditempat inilah kami akan memupuk semangat mereka. Keterbatasan bukan sebuah alasan untuk dijadikan penghalang masa depan.

Selesai upacara bendera (di sekolah sebelah), kami mengumpulkan seluruh siswa. Wajah-wajah bingung penuh tanda tanya terbias jelas di raut mereka. Beberapa mata mengintip alat peraga yang sudah kami  persiapkan di belakang. Ada apa dengan hari ini? Siapa 6 orang dengan wajah asing di depan mereka? Segera saja suasana kaku dan tegang mencair seiring perkenalan kami dari Kelas Inspirasi, apa yang akan kami lakukan hari ini, dan kegembiraan apa yang akan kami bawa.

Game menyusun urutan cerita
Senyum dan tawa mulai menguar lepas saat tim relawan mulai mengajak mereka untuk belajar ‘Salam Semangat’, ‘Senam Semangat’, dan beberapa gimmick yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Sebuah pembuka semangat yang sangat manis, dan akan memudahkan kami untuk memasuki kelas setelah itu. Ya, mereka akhirnya tahu kalau hari itu tidak akan ada Ibu dan Bapak guru yang mengajar. Hari itu kami hadir sebagai penggantinya dengan berbagai cerita baru yang mungkin baru akan mereka dengar hari itu. Melihat wajah-wajah semangat mereka, semangat saya ikut meluap lebih besar. Bisa jadi, mereka memang menunggu saat-saat seperti ini, di saat mereka terkadang  jenuh dengan mata pelajaran rutin yang harus mereka pelajari setiap hari. Hari ini mereka akan belajar sesuatu yang sangat baru.

Membawa profesi sebagai Penulis, saya memasuki kelas demi kelas siang itu. Sejumlah buku dan majalah menjadi alat peraga saya. Hari ini mereka harus tahu  bahwa profesi itu tidak sekadar ‘dokter’ atau ‘insinyur’ yang selalu menjadi jawaban massal untuk sebuah pertanyaan atas cita-cita. Seorang anak yang hobi menulis tidak perlu dipaksakan untuk menulis kata ‘dokter’ kalau ditanya harapan yang ingin diraihnya. Dengan melihat sosok saya di depan, dengan mendengar cerita saya tentang proses menulis dan menerbitkan buku, mudah-mudahan mereka yang memiliki minat sama akan mulai terbuka langkah seperti apa yang harus diambilnya.

Semangat kerjasama
Di beberapa kota besar, profesi penulis mungkin sudah sangat dikenal di mata anak-anak. Beberapa anak usia Sekolah Dasar bahkan sudah berhasil menerbitkan karya-karyanya dan mencuat sebagai Penulis Cilik harapan bangsa karena bakatnya. Tetapi di sekolah ini, profesi penulis menjadi sesuatu yang sangat langka. Dari seluruh kelas yang saya masuki, tidak ada seorang pun yang mengacungkan tangan ketika ditanya; “Siapa yang kelak ingin menjadi Penulis Buku?”

Oke, saya tidak perlu berkecil hati. Minat dan bakat tidak perlu dipaksakan. Saya cukup berbesar hati ketika banyak tangan teracung saat ditanya; “Siapa yang senang membaca buku cerita?”. Membaca adalah modal utama apabila ingin menjadi penulis. Kalau kali ini mereka belum mengerti ‘kenapa saya harus jadi penulis alih-alih menjadi dokter?’, mungkin seiring berjalannya waktu dan mereka mulai menyadari ada keinginan untuk menulis dan mulai menyukai dunia penulisan, anak-anak itu tahu mereka bisa menjadi apa kelak nanti.

Hari ini kita bergembiraaaaa ...
Saya tidak hanya berbicara. Anak-anak mungkin sudah cukup bosan kalau harus diberikan penjelasan materi sepanjang waktu. Saatnya untuk bermain! Mereka tidak suka pelajaran mengarang? Oke, tidak masalah. Mereka belum pernah menulis sebuah cerita sebelumnya? Tidak perlu khawatir. Kali ini saya mengajak mereka bermain menyusun sebuah cerita. Saya mengeluarkan guntingan-guntingan cerita yang sudah saya print dan acak urutannya. Setelah saya bagi kelas ke dalam beberapa kelompok, guntingan cerita pun saya bagikan.

Dengan beberapa petunjuk cerita yang harus mereka susun, saya lihat antusiasme dan semangat mereka meluap cepat. Seorang anak yang bercita-cita menjadi ‘Pemain Bola Profesional’ tampak semangat memimpin kelompoknya. Di kelompok lain, seorang ‘calon dokter anak’ mengatakan pada teman-temannya agar mereka tidak perlu terburu-buru agar susunan ceritanya terurut dengan baik dan benar. Saya tersenyum, calon-calon pemimpin sudah bermunculan saat itu. Mereka mungkin anak-anak di daerah pinggiran, asal diberikan kesempatan meraih pendidikan luas, seharusnya mereka kelak bisa merangsek maju ke garda depan pemimpin bangsa. Insya Allah, kita selalu harus optimis.

Bahagia itu sederhana; melihat senyum dan tawa mereka!
Kata siapa pemain bola tidak boleh bisa menulis cerita? Apa ada larangan seorang dokter menulis sebuah novel? Seorang guru sudah sewajarnya bisa menulis cerita yang menarik dan mendidik untuk para siswanya. Seorang tentara sekaligus seorang cerpenis tentu bukan sebuah aib. Profesi penulis bisa terjadi pada siapa saja. Membudayakan membaca dan menulis tentu akan sangat bermanfaat. Lihat saja, seorang calon dokter anak akhirnya mampu memimpin teman-temannya menyusun urutan cerita dengan tepat. Sang calon pemain bola bisa menuturkan alur ceritanya dengan baik, sekaligus menyebutkan tokoh-tokoh utama ceritanya meskipun kelompoknya butuh beberapa kali perbaikan untuk untuk mengurutkan ceritanya.

Saya senang. Saya bangga. Hari ini saya berhasil membuat mereka bergembira. Hari ini mereka mungkin ‘hanya’ mengurutkan cerita yang sudah ada. Kelak, siapa tahu mereka bisa membuat ceritanya sendiri. Tidak ada yang tahu.

Suasana lebih ekspresif terjadi di kelas 1 sampai 3. Karena pemahaman mereka yang masih dini, saya beralih fungsi menjadi pendongeng di kelas-kelas ini. Saya bukan pendongeng mahir, saya butuh belajar banyak untuk menjadi pendongeng yang baik. Tapi, hari ini saya merasa jadi seorang pendongeng hebat. Antusiasme anak-anak dan binar-binar mata mereka membuat semangat saya meluap-luap. Tawa lepas mereka saat saya berusaha membuat candaan, teriakan mereka saat saya melontarkan kejutan, membuat kegembiraan itu tidak hanya menjadi milik mereka, tetapi juga menjadi milik saya. Apalagi setelah sebuah cerita usai, mereka berteriak ribut; “lagi! Lagi! Lagi!”

Pohon harapan
Saya (dan seluruh relawan Kelas Inspirasi di mana saja) tentu ingin membuat hari ini menjadi benar-benar berbeda. Karena itu, seizin para guru yang ada, saya membuat aturannya menjadi sedikit longgar. Anak-anak tidak perlu duduk manis di meja, kalau tidak mau. Mereka boleh berdiri di dekat saya. Mereka boleh duduk lesehan dan merubung saya di depan. Meja-meja dirapatkan saat game per kelompok. Bahkan saya sengaja mengajak anak-anak kelas 1-3 untuk duduk di lantai (untungnya bersih karena setiap anak melepas sepatu saat masuk kelas) dan membuat lingkaran pada sesi saya mendongeng. Kedekatan dengan mereka membuat suasana jauh berbeda dengan rutinitas belajar harian mereka. Biarlah setahun sekali, mereka terlepas dari beberapa aturan belajar yang cukup mengikat. Biarlah mereka mengingat bahwa hari ini akan menjadi salah satu hari yang sangat istimewa dalam dunia pendidikan mereka.

Ketika cita-cita tak lagi didominasi oleh 'dokter' dan 'insinyur'
Kelas Inspirasi hadir untuk memberikan inspirasi bagi anak-anak Indonesia. Pada kenyataannya, tidak hanya mereka yang mungkin terinspirasi dari sosok relawan, tetapi mereka juga sudah sangat menginspirasi saya.

Seorang anak lelaki di kelas 6 hadir sebagai sosok yang berbeda. Dia lumayan pendiam, duduk menyendiri di sudut kelas. Ketika seluruh anak menuliskan cita-citanya dengan berbagai profesi yang sudah umum, dia menuliskan sesuatu yang membuat mata saya berkaca-kaca; ‘Menaikkan Haji Orang Tua’. Tulisan itu disematkan di dadanya, tepat dibawah tulisan namanya. Cita-citanya itu tidak berubah setiap kali inspirator lain berganti dan menanyakan cita-citanya.

Pada sesi teman inspirator yang berprofesi sebagai akuntan, dia memberikan sebuah latihan; Coba tuliskan apa saja yang akan kalian lakukan apabila diberikan uang jajan setiap hari. Semua anak sibuk menuliskan rincian apa saja yang akan mereka beli. Ada yang menuliskan untuk jajan sekian, untuk ditabung sekian, untuk beli mainan sekian, dll. Anak yang satu itu teguh dengan pendiriannya. Dia hanya menuliskan satu kalimat saja; ‘Ditabung semuanya untuk menaikkan haji orang tua’. Siapa yang tidak meleleh membaca kalimat seperti itu?

Antusias, sampai pada maju ke depan
Seorang anak lelaki kelas 4 lain lagi. Saat saya masuk kelas dia datang terlambat dan terburu-buru menuju mejanya. Di lehernya terbelit kain sarung. Iseng saya tanya; “Kenapa ke sekolah bawa-bawa sarung?”. Apa coba jawabannya? “Saya baru beres salat Dhuha, Pak.”

Jleb!

Terkadang orang dewasa mungkin perlu diingatkan oleh seorang anak kecil –yang sering kita remehkan—agar kita memiliki rasa malu.

Siang tiba-tiba melesat cepat, dan kami sudah berada di penghujung kegiatan. Keriuhan dan kegembiraan sudah berada di ujung untuk diakhiri. Sehari mungkin tidak akan cukup untuk menggali sebuah cita-cita besar. Tapi sehari adalah lebih baik daripada tidak sama sekali. Semoga kami bisa sedikit menginspirasi anak-anak, generasi calon penerus bangsa untuk tak pernah lelah mengejar cita-citanya.

Merubung balon harapan
Seluruh anak kembali dikumpulkan di ‘lapangan’. Ada agenda pelepasan balon harapan ramai-ramai. Dimulai dari kelas 3 (karena anak kelas 1-2 sudah pulang), setiap anak melepaskan label nama yang sudah ditempel di seragamnya sejak pagi. Label yang berisi nama dan cita-cita itu ditempelkan pada balon-balon satu per satu. Balon harapan atau balon cita-cita hanyalah sekadar simbol agar anak-anak tidak takut untuk bermimpi tinggi, karena tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk diraih. Selama niat, usaha, dan doa menyertai, apapun bisa kita gapai. Insya Allah. Semoga semangat anak-anak Indonesia akan terus terjaga agar kelak mereka dapat menjemput seluruh cita-cita dan harapannya.

Langit biru, kutitipkan asaku padamu!
Selain balon harapan, tim relawan juga membuat pohon harapan. Setiap anak menuliskan nama dan cita-citanya pada selembar daun kertas yang kemudian ditempelkan pada setiap ranting pohon. Pohon harapan kemudian ditempelkan di dinding kelas, agar setiap anak dapat melihat cita-citanya setiap hari dan selalu berusaha untuk menyiram dan memupuk pohon tersebut dengan semangat. Doa kami bersamamu, Nak.

Perpisahan selalu menjadi hal yang sangat berat. Anak-anak berlari mengejar langkah kami meninggalkan halaman. Mereka berbaris di pinggir pagar melihat sosok kami bergerak menjauh. Samar-samar terdengar teriakan mereka; “Bapaaak ... kapan ke sini lagiiiii?”

Mata saya tiba-tiba basah.

***

Yang ingin tahu lebih lengkap tentang Kelas Inspirasi, atau ingin bergabung menjadi relawan, silakan cek informasinya di sini : www.kelasinspirasi.org

Terima kasih banyak untuk :
Panitia Lokal Kelas Inspirasi Priangan Timur (Kang Casim, Ratna Galih, dkk)
Tim relawan Kelas Inspirasi SD Negeri 2 Handapherang 2 Ciamis :
  • Ita Nurfitriasari (Majalengka)
  • Sodikien (Jakarta)
  • Rama Nugraha (Tasikmalaya)
  • Peni Pujilestari (Yogyakarta)
  • Dita Juwitasari - Fasilitator (Bandung)
Salam inspirasi!