Selasa, 31 Desember 2013

Jejak Begadang 2013

jual bantal foto

Ternyata 'hanya' 8 judul buku yang berhasil saya terbitkan tahun ini. Alhamdulillah ... bersyukur karena masih diberikan kepercayaan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa penerbit sepanjang tahun ini.

~ Serial Sepatu Dahlan Kecil : Kisah bergambar tentang sosok Dahlan Iskan semasa kecil - Penerbit Nourabooks
~ Laguna : Novel roman saya yang pertama, yang alhamdulillah ternyata lolos sebagai finalis Lomba Novel Amore Gramedia Pustaka Utama.
~ Menggapai Rembulan : Novel anak inspiratif tentang perjuangan Rembulan untuk menggapai cita-cita. Kerjasama saya yang pertama dengan Rainbow Children Book / Nyonyo - Buku Anak
~ Kumpulan Cerita Seru Asmaul Husna : Proses panjang sebuah penulisan buku, karena naskah ini pertama kali ditulis tahun 2009! - Penerbit Mizan
~ Komik Seru Crazy Birds - Jagoan Angkasa : adaptasi dari permainan Crazy Birds. - Penerbit Darmizan.
~ Toilet I'm In Love : proyek antologi yang ditulis bareng teman-teman di Kelas Menulis Novel Komedi yang pernah saya gawangi tahun 2011. Diterbitkan Puspa Swara Publisher

Semoga tahun 2014 akan lebih baik dari pencapaian saya di tahun 2013 ini. Aamiin.

Selamat Tahun Baru 2014, Temans!

Senin, 23 Desember 2013

[Kuliner] Pecel Oranye, Pecel Legenda

jual bantal foto
Jl. Empang (Pasar Mambo) Tasikmalaya
Buat orang Tasikmalaya, Pecel Oranye mungkin masih kalah pamor dengan deretan pecel di daerah kalektoran. Sebut saja pecel Bi Iyoy atau Bi Encar. Tapi, kalau menilik jauh ke belakang, Pecel Oranye tetaplah sebuah legenda yang belum tergantikan. Bagaimana tidak, Pecel Oranye sudah berdiri sejak tahun 1925! Sejak zaman Belanda masih berkuasa di bumi Indonesia, bro! Informasi inilah yang membuat saya dan beberapa teman dari Komunitas Wisata Kuliner Tasikmalaya (KWKT) ternganga ganteng. 1925, zaman bapak saya aja belum lahir! Hiyaaa ...

Tidak salah memang kalau jadwal KWKT minggu kemarin adalah menjajal lokasi pecel legendaris ini. Karena ternyata, sebagian besar anggota KWKT belum pernah nyicipin pecel yang satu ini. Termasuk saya!  Sebagai anggota komunitas yang ngakunya pencinta kuliner Tasik, kenyataan bahwa pecel ini sudah unjuk gigi sejak zaman penjajahan jelas sangat-sangat menohok. Hellow, where have we been?  Fyuh, maafkan kami (Eh, saya ding) yang nggak pernah aware tentang sebuah kuliner yang harus tetap dilestarikan.

Buat saya yang doyan sama pecel, karedok, lotek, dan semua jenis kuliner sejenis, pecel yang satu ini memang tidak boleh dilewatkan. Really worth trying, lah. Apalagi karena cita rasanya yang cukup menggoyang lidah dan unik. Berbeda dengan pecel khas Sunda biasanya yang semua bumbu kacangnya diulek, lalu bumbu dan sayurannya diaduk-aduk hingga jungkir balik, Pecel Oranye cukup berbeda. Semua sayuran rebus (kol, kacang panjang, toge, dll) ditata di atas piring. Setelah sayuran tersaji dengan cantik dan mempesona (halah), siram deh dengan bumbu kacangnya. Sajikan dengan kerupuk aci, maka pecel oranye pun siap untuk dihajar! Jebreeeet.

Gado-gado Pecel Oranye
Eh, sebenernya, saya kemarin pesan Gado-Gado sih, bukan pecelnya. Halah, ini kenapa ya kok saya plin-plan begini? Tenang, di Pecel Oranye ini, pecel dan gado-gado tidak jauh berbeda dalam rasa dan bentuknya. Beda isiannya doang. Jadi, review saya nggak bakalan jauh meleset (mungkin). Kalau pecel seperti yang saya jelaskan di atas, nah kalau gado-gado ada sedikit beda. Selain sayuran yang sama, untuk gado-gado ditambahkan potongan kentang, tahu, dan juga telur rebus. Biar rame dan meriah (halah lagi), setelah disiram bumbu saus kacang, dihias dengan kerupuk aci dan emping. Itulah bedanya. Jadi, kalau doyan emping, pesennya harus gago-gado, karena paket pecel nggak pake emping. Tapi kalau keukeuh pengen pecel plus emping, coba aja minta sama si Ibu. Mudah-mudahan aja dikasih empingnya. Hehehe.

Yang membedakan pecel/gado-gado di sini, selain bumbu kacangnya yang sudah dibikin terpisah (kayaknya sih diblender, soalnya haluuus banget bumbunya), juga adanya perasan jeruk sambal. Biasanya di tempat lain, jeruk sambel diberikan opsional dan disajikan terpisah. Nah, di Pecel Oranye ini, jeruknya sudah diperesin sama si Ibu. Jadi, rasa pecel dan gado-gadonya sudah ada aroma jeruk dan rasa asem-asem seger gitu. Kalau misalnya anda nggak suka jeruk makan jeruk, eh ... nggak suka ditambahin jeruk maksudnya, jangan lupa wanti-wanti ke si ibu sebelumnya ya.

Pecel Oranye berada di Jalan Empang (Pasar Mambo) Tasikmalaya. Posisinya pas di belokan ke arah kiri dari Jalan Pemuda, tepat di seberang Hotel Selamat. Menurut cerita Bu Edi, Pecel Oranye ini sudah ada dan dikelola turun temurun selama 3 generasi. Siapakah Bu Edi ini? Perkenalkan, dialah penjual pecelnya saat ini! Jadi, yang pertama berjualan Pecel Oranye ini adalah Neneknya, lalu dilanjutkan sama Ibunya. Saat Ibunya Bu Edi ini wafat tahun 1990, Bu Edi-lah yang akhirnya meneruskan usahanya.  Sampai sekarang.

Meskipun tidak seterkenal Pecel Kalektoran saat ini, Pecel Oranye masih memiliki penggemar tersendiri. Terbukti dari banyaknya pelanggan yang berdatangan. Apalagi ternyata Pecel Oranye ini juga menerima penjualan bumbu pecel keringnya. jadi, kalau mau bikin pecel sendiri di rumah, tinggal seduh bumbunya, jadi deh Pecel Oranye buatan sendiri.

Doyan pecel (atau gado-gado)? Yang satu ini harus anda coba. Dengan  harga Rp. 15.000,- per porsi, anda bisa menikmati sepiring pecel legenda di Tasikmalaya.

Senin, 09 Desember 2013

Melarung Rindu di Laguna ~ review Linda Satibi

jual bantal foto

Blurb:
Keindahan Blue Lagoon Resort berhasil menyembuhkan luka hati Arneta  setelah putus dari Galang. Setidaknya itulah yang dirasakannya sampai kemunculan Mark, sang general manager baru. Ketenangan Arneta terusik karena sikap dingin cowok blasteran itu. Untuk pertama kalinya ada orang yang berani menegur keterlambatan Arneta, meremehkan kinerjanya, dan mempermalukannya di depan para staf.

Kekesalan Arneta semakin menjadi karena statusnya sebagai anak pemilik Blue Lagoon Resort tidak bisa memuluskan rencananya untuk mendepak Mark. Perang dingin di antara mereka berujung pada sebuah pertaruhan terbesar dan ternekat yang pernah diajukan Arneta. Pertaruhan yang perlahan-lahan membuka sisi asli pribadi Mark. Pertaruhan yang membawa Arneta kembali bertemu Galang.

Laguna biru kesayangannya tak lagi tenang. Luka hati Arneta yang lama terkubur kini terusik lagi dengan kehadiran Galang. Namun, ketika mantan kekasih yang sangat dicintainya itu melamarnya di tepi laguna, kenapa Arneta justru memikirkan sosok lain?

Review:
Saat membaca daftar finalis Lomba Novel Amore, mata saya tertegun sejenak di satu nama. Iwok Abqary. Nggak salah nih? Penulis yang lebih sering ngocol dalam tulisan-tulisannya, terjaring di lomba bergengsi novel romance? Satu lagi, penulis ini juga idola anak saya (10 tahun). Yup! namanya memang cukup dikenal sebagai penulis buku anak-anak. So, nggak pake mikir lama, judul novel ini langsung masuk ke dalam wishlist. Penasaran banget saya…

Dan.. ketika lembar demi lembar novelnya saya nikmati… hmm… novel ini asyik juga. Bahasanya segar seperti segarnya segelas lime squash yang ada di covernya. Dialognya nggak berlebihan, enak dikunyah. Nggak cuma dialog verbal, tapi juga suara-suara bisikan hati, menyempurnakan keasyikan yang dibangun oleh cerita ini.

Settingnya menarik, membidik panorama eksotis negeri sendiri. Pulau Bintan, sebuah destinasi wisata yang cantik dan belum se-menor Bali. Deskripsi keindahannya cukup tersampaikan. Saya bisa membayangkan tenang dan nyamannya laguna tempat Arneta melarungkan serpih demi serpih rindunya. Tempat yang senyap dengan segala pesona ajaibnya yang melenakan: debur ombak, desir angin, pekik camar, riak gelombang, gemerisik dedaunan nyiur, palem, dan ketapang, lengkap dengan payung langit biru yang membentang sempurna. Pas banget untuk meluruhkan segenap kenangan pahit yang mengendap dari masa lalu.

Riset untuk novel ini, terlihat cukup mendalam. Penulis fasih membeberkan seluk beluk bisnis resor, terutama yang berkaitan dengan divisi marketing. Di divisi itulah Arneta nge-pos, dan segala gerak tindaknya berkutat di situ. Saya jadi tahu, bagaimana strategi pemasaran sebuah usaha resor dalam menggaet klien, model promo yang dilakukan, termasuk istilah dalam kegiatan promo, semacam sales call.
Selain bagian-bagian serius, mungkin karena pada dasarnya ini penulis emang suka ngocol, novel ini pun diwarnai unsur kocak. Bukan ngocol yang konyol, tapi semacam bumbu penyedap yang bikin novel ini jadi mak nyuss. Saya benar-benar terhibur, karena bagian-bagian yang lucu ini nggak dibuat-buat, tapi memang hadir alami, dan sukses bikin saya ketawa, dari mulai ketawa skala ringan yang cuma senyam-senyum sampai terkakak-kikik.. J Misalnya dari dialog-dialog chatting Arneta dengan Ayu, sahabatnya yang tinggal di Bandung, juga saat adegan Arneta yang ketahuan memotret Mark dengan sembunyi-sembunyi, dan.. selebihnya, temukan sendiri ya, lumayan cukup banyak kok.

Menarik juga bagaimana penulis menggerakkan tokoh-tokohnya. Nggak ada yang saling mendominasi. Galang, yang sesungguhnya merupakan ‘biang kerok’ penyebab terdamparnya Arneta di Bintan, hadir di bagian nyaris penghujung cerita. Penulis memilih untuk nggak cerewet menceritakannya di awal, dan ketika dia muncul, nggak terkesan ujug-ujug dateng juga. Sudah disiratkan sebelumnya tentang kebiasaan Neta yang suka menyendiri di laguna, dan… penyebabnya nggak akan jauh-jauh dari urusan cinta, kan?

Karakter Arneta dan Mark merupakan kombinasi yang pas. Masing-masing memiliki kekuatan karakter yang khas dan tegas. Mereka berinteraksi dalam alur yang terjaga. Ketika terasa ada semacam plothole, ternyata di bagian selanjutnya ada penjelasan yang menutupi lubang tersebut. Semisal tentang Galang yang dikatakan percaya diri, tapi kok berkelit dari sebuah komitmen? Bukankah itu menunjukkan ketidakpercayadiriannya? Ow rupanya kemudian disebutkan bahwa Galang berasal dari keluarga sederhana dan ia ingin berupaya menapaki jalan sukses agar tampil sebagai pemenang di hadapan keluarga Arneta yang kaya raya.

Nggak melulu mengedepankan perkara cinta, Laguna juga meniupkan semangat pantang menyerah. Betapa sebuah target yang dicanangkan, harus diperjuangkan dengan program yang matang dan terencana baik. Sebuah tantangan harus dijawab dengan kerja keras dan prestasi. Karena dunia kerja membutuhkan orang-orang yang berdedikasi tinggi. Bila itu dipenuhi, maka keberhasilan yang gemilang akan dicapai.

Apakah novel ini semua bagiannya asyik? Nggak juga lah. Tak ada gading yang tak retak, tetap berlaku. Seperti novel Amore yang saya baca sebelum ini, di Laguna pun tercium aroma sinetronistik. Perseteruan seru antara dua orang berbeda jenis kelamin dengan paras menawan… hmm.. kayaknya langsung ketebak kalau itu bakal jadi semacam kamuflase. Dan, Arneta terlihat naïf, dengan segala serangan yang dilancarkan Mark. Tapi, bagusnya, penulis menunjukkan betapa alam bawah sadar Neta tak berkutik juga berhadapan dengan cowok bule yang guantheng ini..

Satu lagi, unsur kebetulan. Pada moment yang urgent, ketika Neta butuh klien besar yang mampu mendongkrak profit demi keberhasilan tim marketingnya, muncullah sosok itu. Sosok yang melangutkan jiwa dalam bingkai kenangan getir masa lalu. Kebetulan yang klise. Sangat disukai untuk menjadi pilihan penulis agar memudahkan jalan cerita. Kok Galang sih yang jadi wakil direktur marketing di perusahaan besar yang dibidik Blue Lagoon Resort? Kebetulan banget! Sementara saya, nggak pernah tuh kebetulan ketemu sama mantan pacar dari masa lalu… haha…

Adanya dialog chatting antara Neta dan Ayu, adalah bagian yang saya suka. Percakapan yang lincah, segar, dan mengandung unsur kocak juga. Betul-betul pembicaraan dua orang sahabat yang terkesan natural. Tapii… kenapa untuk membedakan dialog chat itu dengan narasi atau dialog lain, adalah dengan menggunakan cetak tebal pada huruf-hurufnya? Kenapa nggak menggunakan font yang beda? Kan banyak pilihan font yang bisa dipakai yang akan membuatnya lebih artisitik, daripada sekadar hurufnya di-bold.

Deskripsi fisik para tokoh cukup detil dan menarik. Pembaca bisa membayangkan seperti apa sosok Arneta, Mark, dan Galang. Meski penulis tampaknya terpeleset juga, kurang teliti saat menggambarkan mata Mark yang memesona. Pada halaman 110, matanya sewarna hazelnut yang coklat terang, namun pada halaman 227, matanya sewarna almond. But, it’s no big deal, toh tidak memengaruhi jalan cerita. Masih bisa dimaafkan untuk penulis yang baru pertama kali menulis novel romance…

Anyway, meski tidak bertabur diksi yang memukau, saya acung jempol buat Iwok Abqary yang berhasil yang membangkitkan sisi romantisme yang terkubur di dirinya dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan novel romance yang manis, segar, dan menyenangkan. Dengan menambahkan ketegangan-ketegangan saat Neta harus menentukan pilihan, menjadi kejutan tersendiri buat saya, tercecap rasa kecut-manis yang enak. Maka menikmati novel ini seperti sedang disuguhkan segelas lime squash.

Akhirnya rasa penasaran saya lunas ketika tiba di penghujung halaman novel ini. Dan, saya nggak nyesel beli karena novel ini cukup memuaskan. So, saya rekomendasikan novel ini buat kamu koleksi. Jangan sampai melewatkan kesegaran segelas lime squash yang menguar darinya… slrruup! ^_^

Judul Buku                :  Laguna
Penulis                        :  Iwok Abqary
Penerbit                      :  Gramedia Pustaka Utama
Terbit                         :  Cetakan I, 2013
Tebal Buku                :  232 halaman
ISBN                           :  978-602-03-0053-5
Harga                         :  Rp. 48.000

Sumber dari sini : http://kalam-cinta-linda.blogspot.com/2013/12/melarung-rindu-di-laguna.html

Senin, 02 Desember 2013

[Info] Project Buku Traveling - BFirst

jual bantal foto
Buat yang hobi jalan-jalan dan nulis nih, ada info project penulisan buku traveling dari Penerbit B-First . Ayo pada ikutan!



Kamu punya hobi traveling ? Suka menulis dan punya banyak ide kreatif? 
Ayo bergabung dalam Proyek Buku Traveling B First kali ini ….
Kalau kamu memenuhi syarat-syarat berikut:

- Hobi traveling (dalam maupun luar negeri)
- Suka menulis
- Suka tantangan
- Penuh ide kreatif

Maka kamu memenuhi kriteria yang kami cari dalam tim!
Lampirkan contoh tulisan traveling (dan alamat blog jika ada), beserta lamaran + CV ke project.bfirst@gmail.com, dengan subjek “Project Traveling”
sebelum tanggal 7 Desember 2013
PS: untuk informasi lebih lanjut, kamu bisa langsung menghubungi email yang tertera di atas.

Salam Traveling!

Sumber : http://bentangpustaka.com/project-buku-traveling-b-first/

Kamis, 28 November 2013

Mangkunegaran Performing Art ~ Kearifan Budaya Lokal Yang Terjaga

jual bantal foto
Kontes Tulisan Tentang Solo
Saya sangat beruntung. Kedatangan saya ke Solo pada bulan Mei 2013 lalu ternyata bertepatan dengan adanya pagelaran Mangkunegaran Performing Art! Wuaah ... tentu saja ini pertunjukan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Sebagai agenda tahunan, Mangkunegaran Performing Art adalah pertunjukan langka dan hanya diselenggarakan setahun sekali saja. Kalau sekarang saya terlewat menyaksikan, berarti baru tahun depan saya bisa kembali. Terlalu lama, dan entah apakah tahun depan saya bisa kembali ke Solo atau tidak. Karena itu, dengan semangat saya bergegas ke Pura Mangkunegaran tepat setelah malam tiba.

Solo adalah kota yang masih begitu kental dengan unsur tradisi dan budaya. Banyak warisan budaya masih bertahan dan mengakar kuat di dalam masyarakat. Banyak sekali bukti-bukti budaya dan tradisi yang masih mengukuhkan tentang hal itu. Pura Mangkunegaran salah satunya. Dan ke tempat itulah malam itu saya melangkah. Mangkunegaran Performing Art digelar langsung oleh keluarga kerajaan Mangkunegaran, dan itu akan jadi pertunjukan yang sangat istimewa.

Dok. Pribadi
Suasana sudah begitu ramai ketika saya datang. Area pendopo sudah dipenuhi masyarakat Solo yang begitu antusias menyaksikan pagelaran ini. Tua, muda, laki-laki, perempuan, semua bergabung menjadi satu. Saya bahkan harus berusaha mencari celah agar bisa mendapatkan tempat yang lebih leluasa untuk menyaksikan pertunjukkannya nanti. Sulit, setiap area sudah benar-benar dijejali pengunjung. Hanya dari deretan kursi tamu undangan saja panggung pertunjukkan dapat benar-benar disaksikan dengan utuh. Selain itu, saya harus tetap berdesakan dengan pengunjung lain. Luar biasa, antusiasme masyarakat Solo benar-benar mengagumkan. Dan hal itu terus terang membuat saya terharu dan bangga, karena budaya tradisional masih begitu dicintai di kota ini.

Arus pengunjung yang berdatangan masih belum surut. Padahal lokasi di seputar area balairung pertunjukkan sudah tidak menyisakan lagi tempat. Tetapi pihak Mangkunegaran sepertinya sudah mempredeksi hal tersebut sebelumnya. Karena itu, di luar pendopo, di halaman berumput yang cukup luas sudah dipasang dua buah lanyar tancap. Seluruh pertunjukan dan pagelaran yang diadakan di dalam pendopo akan disiarkan juga melalu layar-layar tersebut melalui kamera yang tersambung khusus. Keren! Dengan begitu masyarakat tidak perlu kecewa karena tidak kebagian tempat untuk menonton pertunjukan.

Anak-anak yang menari dengan rancak - dok. pribadi
Dengan tertib, masyarakat yang baru datang mengambil tempat dan duduk beralaskan rumput. Mata mereka mulai tertuju ke arah layar-layar yang terpancang di depan mereka. Tidak ada keributan, tidak ada teriakan kekecewaan karena hanya kebagian nonton di layar. Semuanya duduk dengan tenang, seolah menonton langsung atau melalui layar tancap sama menyenangkannya. Salut! Begitulah seharusnya menikmati sebuah pertunjukan. Jempol buat masyarakat Solo.

Mangkunegaran Performing Art sudah tercantum dalam Kalender Event Kota Surakarta 2013, dan sudah menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan Pura Mangkunegaran. Pertunjukan ini sekarang menjadi salah satu atraksi unggulan kota Solo untuk menarik kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara. Yang menarik, seluruh pagelaran tari yang ditampilkan dalam pagelaran ini merupakan karya dari keluarga istana dan menjadi hak cipta Pura Mangkunegaran. Contohnya, Tari Sobrak yang diciptakan oleh Gusti Heru (Gusti Pangeran Haryo Herwasto Kusumo) dan Tari Mandrarini yang diciptakan oleh Raja Mangkunegaran IV. Sangat terlihat bagaimana budaya itu terus dipelihara dan dilestarikan, bahkan di dalam lingkungan istana sendiri. Hal inilah yang kemudian akan menjadi contoh baik bagi seluruh masyarakat Solo untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan lokal.

Mangkunegaran Performing Art  berlangsung selama 2 hari, yaitu tanggal 10 dan 11 Mei 2013, yang dibuka secara resmi oleh Wakil Walikota Solo dengan kata sambutan dari perwakilan Pura Mangkunegaran. Acara ini menggelar sejumlah tarian yang dibawakan oleh ratusan anak-anak dan remaja. Tidak kurang  dari Tari Golek Sukoreno, Tari Kupu Kupu, Tari Sobrak, dan Opera Timun Mas yang dipertunjukkan pada malam pertama bagi seluruh masyarakat Solo dan seluruh pengunjung yang terus berdatangan.

Penari-penari remaja - dok. pribadi
Selalu terasa berbeda apabila menyaksikan sesuatu secara langsung dibandingkan dengan yang ada di televisi. Contohnya menonton pertandingan olahraga. Menyaksikan langsung para pemain di lapangan jauh berbeda sensasinya dengan hanya menonton di televisi. Gaung dan gempitanya terasa jauh lebih kuat. Begitu pula saat saya menyaksikan pertunjukan tari tradisional di Pura Mangkunegaran ini. Nuansanya terasa sangat berbeda. Ada daya magis tersendiri yang membuat kaki saya menancap kuat untuk tidak beranjak, menyaksikan satu demi satu tarian yang disuguhkan. Mata saya tidak lepas dari setiap gerak tubuh dan hentakan tangan serta kaki penarinya. Saya menikmati setiap gemulai tangan penari mengibaskan selendangnya. Dengan alunan gamelan yang yang berkumandang, semuanya menjadi satu paket sajian yang sangat menarik. Bukan hanya saya yang terpaku menatap setiap tarian itu, tetapi juga seluruh pengunjung yang ada. Semua terdiam, membiarkan setiap tarian tuntas disajikan untuk kemudian bertepuk tangan bersama-sama.

Yang menarik dicermati adalah para penarinya yang ternyata yang sebagian besar masih anak-anak. Sebagian kecil lainnya adalah mereka yang baru beranjak remaja. Dan ternyata, mereka sudah tidak canggung lagi dalam menari. Gerak tangan dan tubuh mereka sudah luwes menarikan beragam tarian. Ada yang lemah gemulai, ada pula yang jingkrak-jingkrak menghentak sesuai dengan irama gamelan yang mengalun. Semua sama indahnya, sama menariknya.

Taman Sriwedari - Dok. Pribadi
Melihat kepiawaian anak-anak itu dalam menarikan beragam tradisional, pikiran saya melayang pada suatu sore di Taman Sriwedari. Mumpung berada di Solo, saya memang menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat-tempat menarik yang ada di kota ini. Salah satunya adalah Taman Sriwedari. Niat awal adalah ingin melihat secara langsung Gedung Wayang Orang Sriwedari, mengingat wayang orang adalah salah satu kesenian yang masih dilestarikan dengan baik di kota Solo. Bagaimanapun, wayang orang memang sudah cukup langka saat ini, tergantikan oleh beragam budaya modern yang datang menyerbu. Beruntung kota Solo masih mempertahankannya, bahkan dengan memiliki gedung sendiri untuk pagelaran ini.

Berhubung saat saya datang ke Taman Sriwedari pada sore hari, tentu saja tidak ada jadwal pertunjukan wayang orang yang sedang dimainkan. Pertunjukan ini hanya diselenggarakan di akhir pekan dan pada waktu malam hari. Saya tidak kecewa, karena waktu saya pun tidak cukup banyak. Saya hanya ingin meninggalkan jejak saja di sana, kalau saya pernah mengunjungi Taman Sriwedari.

Sebagian anak-anak yang sedang berlatih menari - dok. pribadi
Ternyata, di Taman Sriwedari itu saya malah diberikan pemandangan yang luar biasa mengesankan. Saat itu pula saya menyadari mengapa Surakarta/Solo layak dijuluki sebagai Kota Budaya. Sore itu, Taman Sriwedari tampak ramai oleh ... anak-anak! Tadinya saya pikir karena ini adalah sebuah taman bermain, wajar saja kalau banyak anak-anak yang datang. Tapi perkiraan saya salah. Mereka datang bukan untuk bermain, tetapi untuk latihan menari! YA, anak-anak ini datang untuk belajar menari. Bahkan saya lihat anak-anak yang masih begitu kecil pun sudah siap dengan selendang yang terbelit di pinggang. Lucu!

Saya sempat ternganga. Ratusan anak perempuan (dan bahkan anak laki-laki) dipisahkan dalam kelompok-kelompok tersendiri di sebuah joglo yang terletak tidak jauh dari depan pintu masuk. Saya menduga, mereka dipisahkan berdasarkan level kemampuan tarian mereka. Yang masih baru belajar akan berada dalam kelompok sendiri. Begitu pula dengan anak-anak yang sudah berada di tahap lebih tingginya akan digabungkan dalam kelompok lainnya. Dan mereka berlatih dengan tekun sesuai dengan instruksi dari pelatih masing-masing. Sama sekali tidak terganggu oleh musik gamelan dan tarian yang sedang dimainkan kelompok lainnya. Setiap anak konsentrasi dengan gerakan tarian masing-masing.

Bahkan anak-anak lelaki pun belajar menari - dok. pribadi
Hati saya mendadak meleleh. Adem sekali menatap anak-anak itu. Di tengah hingar bingarnya budaya modern yang mendobrak masuk tanah air saat ini, mereka ternyata masih peduli dengan  budaya tradional negara mereka. Kesenian tradisional terkadang dianggap sebelah mata oleh anak-anak zaman sekarang. Belajar seni tradisional seringkali dianggap kampungan dan tidak keren. Tapi tidak bagi anak-anak di Taman Sriwedari ini. Keseriusan mereka berlatih menunjukkan bahwa mereka bangga dan peduli terhadap seni tradisional. Salut!

Karena itu, saat melihat penampilan penari-penari cilik di Mangkunegaran Performing Art, saya tidak lagi menjadi heran. Di Solo, bakat-bakat seni mereka sudah terasah semenjak dini. Inilah yang menjadi modal kuat bagaimana budaya tradisional mengakar kuat pada masyarakat Solo, karena mereka memang mencintainya, bukan karena sesuatu yang dipaksakan.

Rasanya semakin jelas kalau banyak pagelaran dan pertunjukan seni tari tradisional di kota Solo. Bukan saja karena masyarakatnya begitu mencintai budaya dan kearifan lokal, tetapi juga karena mereka menyimpan banyak bibit-bibit seniman unggul, yang akan mewarisi dan mewariskan budaya daerah mereka sendiri.

Bravo Solo!

Rabu, 27 November 2013

Berburu Batik di 'Kampung Batik Kauman'

jual bantal foto
Kontes Tulisan Tentang Solo
Tidak bisa dimungkiri kalau Solo sudah menjadi salah satu sentra industri batik di tanah air. Kota yang dikenal dengan wisata budaya Kesultanan Surakarta ini tidak lagi menjual keraton sebagai objek wisata utama, tetapi juga wisata belanja, khususnya kain batik. Untuk itu, masyarakat dan pemerintah kota Solo tampaknya sudah sangat siap karena industri batik begitu mudah dijumpai di kota ini. Tidak kurang dari Pasar Klewer, Kampung Laweyan, dan Kampung Kauman menjadi sentra industri batik yang sangat dikenal para pecinta batik.

Berbekal sepeda pinjaman dari hotel dan sebuah peta
Dalam kesempatan mengunjungi Solo, saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Solo adalah salah satu tempat yang sangat pas kalau ingin merasakan nuansa batik yang sangat kental. Berbekal sepeda pinjaman dari hotel, saya meluncur menuju jalan Slamet Riyadi untuk kemudian berbelok ke gang Kauman, sentra batik yang ingin sekali saya kunjungi.

Gerbang masuk ke Gang Kauman (dok. pribadi)
Ya, tidak perlu bingung dan pusing mencari jalan menuju lokasi ini. Berbekal peta dari hotel saja saya bisa menemukan kampung batik ini dengan sangat mudah. Apalagi sebuah plang di depan gang bertuliskan ‘Kauman, Kampung Wisata Batik’ tidak akan membuat kita salah jalan. Bukan sebuah kesengajaan apabila lokasi wisata batik ini berada di pusat kota Solo, karena kampung batik ini sudah ada sejak dulu dan mewariskan tradisi turun temurun pada generasi penerusnya. Sungguh sebuah kemudahan bagi wisatawan yang memang ingin berbelanja batik di kota Solo langsung ke pusat produksinya.

Plang 'Rumah Batik' di kanan-kiri jalan (dok. pribadi)
Seperti halnya gang lain, gang Kauman ini tidak terlalu lebar tetapi cukup leluasa bagi para pengendara motor maupun sepeda seperti saya. Yang langsung menyita perhatian saya adalah ‘sambutan meriah’ yang ada di sepanjang gang ini. Berbagai plang bertuliskan ‘Rumah Batik’ dengan beragam merek yang berbeda terpajang di hampir setiap pintu. Tidak hanya itu, di sebuah perempatan gang saya bisa melihat sebuah patung seorang perempuan yang tengah membatik. Ow, saya benar-benar tengah memasuki sebuah perkampungan batik yang sesungguhnya.

Patung Perempuan Membantik (dok. pribadi)
Dan saya pun mulai bingung harus memulai dari mana. Setiap Rumah Batik seolah menarik saya untuk segera memasukinya. Beragam kain batik dengan sekian banyak corak dan padu padan warna menawan yang saya lihat dari balik pintu membuat saya ingin segera menghentikan kayuhan sepeda saya. Dengan sekian banyak showroom yang ada, mana yang harus saya jelajahi lebih dulu untuk kemudian mulai memilih dan memilah kain yang mana yang harus saya bawa pulang sebagai oleh-oleh. Saya memutuskan untuk segera menghentikan sepeda, lantas memasuki showroom terdekat sebelum kebingungan saya semakin menjadi.

Tak lama, saya sudah larut dalam dunia batik. Di sekeliling saya terhampar batik, batik, dan batik. Ke mana kaki saya melangkah yang terlihat hanyalah batik dengan segala kecantikan dan keunikannya. Tidak salah kalau batik menjadi salah satu warisan budaya nasional yang diakui Unesco untuk terus dilestarikan keberadaannya. Ragam batik (tulis maupun cap) begitu indah sehingga akan disayangkan kalau warisan leluhur berupa kain cantik ini menghilang tergerus zaman. Untungnya kita bisa bernapas lega kembali karena tren batik semakin mencuat ke permukaan belakangan ini. Batik tidak lagi dipandang sebagai busana formal yang hanya dikenakan pada waktu-waktu tertentu saja, melainkan sudah menjadi bagian dari busana masyarakat dalam keseharian.

Papan Penunjuk Arah (dok. pribadi)
Seorang teman mengingatkan kalau ingin membeli batik di Solo, datanglah ke Pasar Klewer karena harganya jauh lebih murah. Benarkah? Apakah karena di Kampung Kauman, batik dipajang di showroom bukan bertumpuk-tumpuk seperti di pasar sehingga kesannya berharga lebih mahal? Ternyata saya menemukan kebalikannya. Di salah satu Rumah Batik di Kampung Kauman saya menemukan harga karun: tiga kemeja batik pria hanya dihargai seratus ribu rupiah saja! Itu jauh lebih murah ketimbang saya harus lama beradu tawar di Pasar Klewer seperti sehari sebelumnya. Dengan selembar uang seratus ribu rupiah saya punya stok pakaian batik tiga macam!

Pada akhirnya, ada harga memang ada rupa. Di mana pun kita membeli barang, semakin tinggi sebuah kualitas tentu akan semakin tinggi pula harganya. Dan di Kampung Batik Kauman ini variasi kualitas dan harga itu sangat tersedia. Mau batik seperti apa, semua ada. Tinggal hati-hati saja dengan dompet anda karena bisa mengurus seketika, berbarengan dengan tas belanjaan anda yang semakin beranak-pinak.

Museum Batik Kauman (dok. pribadi)
Untuk melengkapi pengetahuan kita tentang batik, tidak ada salahnya juga untuk mengunjungi Musium Batik Kauman. Mumpung sedang berada di sana, tambah pengetahuan kita tentang warisan budaya tanah air. Ayo kita ke Solo!
                   

Minggu, 17 November 2013

[Segera Terbit] LAGUNA - GPU

jual bantal foto
Segera Terbit 5 Desember 2013
Ini adalah novel roman dewasa pertama saya, setelah sebelumnya saya bergelut di buku-buku anak dan remaja. Naskah ini menjadi salah satu finalis Lomba Novel Amore 2012 yang diselenggarakan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Selasa, 12 November 2013

Menyambangi Sorake dan Fahombo #HandinHand #Day3

jual bantal foto
Laporan Perjalanan sebelumnya bisa dibaca di sini

Kisah hari #2 yang tersisa

Setelah sempat kembali ke hotel untuk mandi dan berganti kostum, acara hari ke 2 ditutup dengan makan malam bersama di Kaliki Resto. Seperti halnya Kartika Grand Resto, tempat makan yang ini pun berada di tepi pantai. Jadi, sambil makan kita bisa mendengar deburan ombak dan menatap ... gelap! Udah malem sih, jadi pemandangan lautnya udah nggak kelihatan. Hehehe.

Makan malam berlangsung meriah. Seafood segar jadi menu andalan yang membuat mata saya langsung kriyep-kriyep kesenengan. Saya suka! Saya suka! Ini benar-benar perbaikan gizi, dan istri saya pasti senang karena pulang dari Nias berat saya bakalan naik lagi. #Eh. *celingukan*

Tidak hanya acara makan bersama malam itu, tetapi ada agenda berbagi cerita mengenai perjalanan kita selama dua hari itu, kesan-kesan mengikuti perjalanan Tim Tango dalam program Nias Hand in Hand. Karena saya paling tua (hiks), akhirnya saya ditodong untuk memberikan kesannya pertama kali. Daaaan ... saya pun bercerita panjang kali lebar. Saya memang gitu, nggak bisa aja kalo disuruh ngomong sebentar. Selalu akhirnya bercerita ke mana-mana, meleber. Hehehe ... maafkan mulut saya yang susah diremnya ya. Tapi intinya sih, saya senang banget bisa menjadi bagian dalam kegiatan ini. Banyak hikmah dan pelajaran yang bisa saya petik, tentang kebersamaan, tentang berbagi, dan tentang kemanusiaan. Semoga Tango mau ngajak saya lagi kalau ada program selanjutnya. #modus *blushing*

Satu per satu, seluruh rombongan menyampaikan kesan-kesannya, dan juga saran untuk program Tango selanjutnya. Tiba pada giliran mba Dwiyani, malah membuatnya kehilangan kata-kata. Pengalaman dua hari ini benar-benar sudah menguras emosinya, sehingga Mba Yani harus terisak-isak menceritakan kesan-kesannya. Saya bisa memahami hal itu, karena Nias memang sudah membuka mata kita lebar-lebar, kalau kesenjangan sosial di tanah air kita ini masih begitu tinggi. saya bahkan kembali mempertanyakan, apakah negara kita benar-benar kaya dan makmur kalau sebagian warganya masih hidup terbelakang seperti ini? Sudah saatnya Pemerintah memberikan perhatian lebih bagi saudara-saudara kita yang jauh dari jangkauan seperti ini.

Mba Adisty pun mengalami mati kata yang sama. Tidak berbeda dengan mba Yani, Adis pun terisak-isak saat berbicara. Saya bersyukur sudah menyampaikan kesan saya pertama kali, karena bisa jadi saya pun akan tertular mati kata seperti itu. Meski saya botak (eh?), saya juga paling gampang tersentuh dan terbawa suasana seperti itu. Ada kemungkinan saya akan ikut terisak-isak kalau harus ngomong setelah mereka.

Satu poin penting yang saya tangkap dari seluruh kesan yang terlontar malam itu, kita semua jadi lebih memahami tentang arti kata BERSYUKUR. Dibanding masyarakat Nias yang sudah kita kunjungi dua hari sebelumnya, nasib kita jauh lebih beruntung. Dan itu yang kadang luput kita syukuri. Sepulang dari Nias, insya Allah kita akan lebih mensyukuri terhadap setiap nikmat dan rezeki yang kita terima, sekecil apapun. Dan memang sudah seharusnya seperti itu, bukan?

Petualangan Hari ke-3

Alarm ponsel saya menjerit-jerit tepat pukul 4 pagi. Hiyaaa .... perasaan baru aja merem, kok sudah harus bangun lagi? Semalam kita tidur agak larut karena keasyikan ngetwit tentang kegiatan sesiangan itu. Jadi, saat alarm bunyi masih nggak iklas buat melek. Tapi, kalau saya tidak bangun saat itu, berarti saya akan segera ditinggalkan rombongan. Pukul 5 pagi kita akan check-out dari hotel. Sepagi itu? Ho-oh, soalnya hari ke 3 itu kita akan melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk .... berwisata! Horeeee.

Pantai-pantai cantik sepanjang jalan menuju Teluk Dalam
Jadwal hari terakhir ini adalah mengunjungi Pantai Sorake dan Atraksi Lompat Batu di Kabupaten Nias Selatan. Dan perjalanan menuju ke sana nggak deket sodara-sodara; 3 jam lebih! Yaaay. Makanya kita diwanti-wanti untuk bangun sepagi mungkin dan meninggalkan hotel pukul 5. Kita nggak bakalan mungkin balik lagi ke hotel, karena beres jalan-jalan kita harus segera mengejar penerbangan pulang. Wokeeeh.



Setelah early breakfast (hasil todongan mba Yuna sebelumnya yg minta breakfast disediakan pukul 5. hehehe), kita pun akhirnya berangkat menuju kecamatan Teluk Dalam, kabupaten Nias Selatan. Mengingat perjalanan jauh dan juga kurang tidur, saya sukses tidur sepanjang perjalanan sebelum kemudian mobil berhenti di sebuah tempat. Sudah sampe? Ternyata belum, kita berhenti di sebuah pasar! Ada apa ini? *kucek-kucek mata*

Ini bukan pantai wisata, hanya view di sepanjang jalan
Ternyata oh ternyata, Tim OBI yang sudah meluncur di depan melaporkan, kalau jalanan menuju Teluk Dalam longsor dan tidak bisa dilewati kendaraan! Waaks ... padahal itu masih setengah perjalanan lagi! masa harus jalan kaki? Masa kita nggak bisa lihat Pantai Sorake dan Lompat Batu? Masa saya harus nangis? Huhuhu. Asli, saya langsung ketar-ketir. Kesempatan untuk mengunjungi Pantai Sorake dan atraksi Fahombo yang terkenal itu hanya ada kali ini dan entah kapan bisa datang ke Nias lagi. Kalau sekarang acara ini gagal, berarti saya harus melupakan semuanya.

Eits, tunggu dulu. Warga setempat mengatakan ada sebuah jalan alternatif untuk melewati jalan longsor. Mata kita pun kembali berbinar. Lanjuuut .... kendaraan pun bergerak kembali dan berbelok ke dalam ... hutan! Woooow ... Hutannya sih nggak masalah, tapi jalanannya itu lho; sempit dan sangat berlumpur penuh dengan lekukan-lekukan dalam. Saya tidak pernah membayangkan kendaraan sekelas Innova harus offroad di jalanan separah itu. Beberapa kali roda kendaraan harus slip dan tonjolan batu membentur bagian bawah mobil. Ough!

Oke, itu bukan salah satu adegan terburuk dari jalan alternatif ini. Lepas dari jalanan berlumpur membelah hutan kita sampai di tepi pantai dengan jalanan mentok. Tidak ada kejelasan kemana kita harus meluncur setelah itu. Setelah bengong berjamaah, akhirnya kita bertanya pada tukang-tukang batu yang ada di sepanjang pantai. Dan jawaban mereka sangat mengejutkan; "Tidak ada jalan terusan. Untuk mencapai jalan kembali, kendaraan harus turun ke pasir pantai dan menyusuri pinggiran pantai sekitar 1 kilometer."

Offroad menyusuri pinggiran pantai
Hiyaaaa ... yang boneng, nih? Pantai di Nias rata-rata tidak memiliki pesisir yang luas. Turun ke pantai berarti sudah langsung bertemu dengan air laut dan ombak. Sekarang kita harus berkendara di mana ombak bisa dengan santainya ngelus-ngelus roda kendaraan? Gimana kalau roda mobil malah mblesek ke dalam pasir dan selip nggak mau maju? Gimana kalau ... *mpot-mpotan* Alhamdulillah ... kendaraan melaju terus sampai akhirnya menemukan jalan yang sebenarnya. fyuuuh .... *lap jidat* Ini benar-benar sebuah memorable trip yang tidak akan terlupakan! ^_^

Setelah itu, perjalanan berlangsung mulus. Karena waktu yang sudah terbuang cukup lama karena harus mengambil jalur alternatif yang tidak diduga, sopir menggeber kendaraan untuk mengejar waktu. Diperkirakan kita tidak bisa lama di masing-masing lokasi wisata. Buat saya tidak masalah. Asal saya bisa menginjakan kaki di lokasi tersebut, itu sudah sangat cukup.

Go surfing
Dan kita pun akhirnya sampai di Pantai Sorake! Ahaaaay ... ini pantai yang sangat terkenal di dunia sodara-sodara! Setelah Hawaii, Pantai Sorake adalah pantai kedua terbaik di dunia untuk olahraga surfing. Tidak heran kalau beberapa kali kompetisi surfing tingkat dunia pernah dilaksanakan di pantai ini. Ketinggian ombak sampai 10 meter bukan menjadi pemandangan aneh di Sorake, dan itulah yang menjadi incaran para surfer profesional. Tetapi, untuk mendapatkan ombak-ombak fantastis setinggi itu ada waktunya. Katanya, bulan Juni-Juli adalah bulan-bulan terbaik para surfer mendatangi Sorake. Karena kita datangnya pada bulan November, ombaknya pun lebih 'bersahabat' bagi surfer pemula. Tetapi, saat itu pun sudah banyak terlihat wisatawan-wisatawan asing yang tengah menikmati ombak Sorake.

Sorake Beach
Meski sarana dan prasarananya masih terlihat minim, tapi Sorake benar-benar tidak boleh dilewatkan apabila berkunjung ke Nias. Pantainya masih benar-benar alami. Dan indah tentu saja. Selain surfing, tepian pantainya juga kayak dengan bebatuan karang. Apabila laut sedang surut, bebatuan karang ini akan menjebak biota-biota laut untuk tidak kembali ke laut dan bisa menjadi pemandangan yang menarik. Keren!

Terbang bersama ombak. Yipiiie ....
Siang sudah sangat terik. Saat rombongan lain memilih berteduh di saung-saung tepi pantai, saya dan Adis lebih memilih untuk turun ke pantai, menjejak bebatuan karang untuk bergerak ke arah tengah laut. Dari sana saya bisa lebih dekat melihat para surfer beraksi (selain semakin banyak melihat biota laut yang berada di tengah kubangan bebatuan karang). Sayang kamera saya tidak cukup canggih untuk mengabadikan momen-momen asyik ini. Beberapa kali jepretan saya luput mengabadikan surfer yang tengah menaiki ombak. Kalaupun kena, hasilnya malah ngeblur. Hiks ... *banting kamera* #ngidamDSLR

Tidak lama di Sorake, kita melanjutkan perjalanan menuju Desa Bawomataluo. Di sanalah atraksi Lompat Batu (fahombo) ini dapat disaksikan. Dari pantai Sorake sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja karena jalanannya sempit dan menanjak, kendaraan harus sangat berhati-hati.

Jalanan menanjak akhirnya berujung di sebuah dataran tidak terlalu luas. Kita sudah sampai di desa Bawomataluo. Sebanyak 86 anak tangga yang mendaki curam sudah menanti sebelum kita benar-benar memasuki desa ini. Welcome to Bawomataluo.

Tangga menuju gerbang desa, rumah adat, dan istana raja

Oya, tulisan mengenai atraksi Lompat Batu (Fahombo) ini akan saya posting terpisah. Saat ini sudah menjadi sebuah artikel pariwisata dan dikirim ke sebuah media cetak. Lolos terbit atau tidak, insya Allah akan saya posting kemudian. Jadi, jangan lupa balik lagi ke sini kalau penasaran dengan atraksi unggulan masyarakat Nias ini ya. Hehehe

Fahombo di depan mata!
Yang jelas, perjalanan jauh kita menuju tempat ini tidak sia-sia. Saya bisa menyaksikan fahombo secara langsung! Setelah itu kita juga sempat menikmati kearifan desa budaya yang masih terus dilestarikan oleh penduduk setempat. Oya, Desa Bawomataluo ini sedang diajukan sebagai World Herritage UNESCO. Itulah mengapa wajib sekali mengunjungi desa ini apabila berkesempatan ke Nias, untuk semakin menyadarkan kita bahwa Nusantara ini benar-benar kaya akan ragam adat dan budayanya.

Salah satu bangunan adat dan batu-batu megalith di depan setiap bangungan
Mengingat hujan yang tiba-tiba turun (padahal sebelumnya panas terik), tidak banyak yang kita jelajahi di desa budaya ini, kecuali memasuki istana raja di samping monumen batu. Setelah itu kita harus segera kembali pulang, mengingat waktu yang terus berjalan.

Dan, perjalanan saya di Nias pun berakhir. Dari desa Bawomataluo ini rombongan langsung meluncur menuju Bandara Binaka, untuk kembali ke Medan dan terbang ke Jakarta. Selamat tinggal Nias, sawohagele!

--- End of the Trip ---

Terima kasih banyak buat Wafer Tango yang sudah mewujudkan jalan-jalan ini.

Minggu, 10 November 2013

Nias Trip, Tango #HandinHand [Masih] #Day2

jual bantal foto
Laporan perjalanan sebelumnya bisa dibaca di sini dan sini.

Perjalanan hari ke dua belum usai. Hari masih sangat siang. Matahari Nias masih bersinar terik saat kita meninggalkan rumah kepala desa dan seluruh masyarakat dusun 1-3 Banua Gea. Acara ‘Kamis Ceria bersama Tango dan OBI’ memang sudah usai, tapi perjalanan kita hari itu belum selesai. Masih ada lokasi yang akan kita tuju sesuai jadwal yang sudah di susun. Kita akan berkunjung ke rumah keluarga Oprianus Gea.

Oprianus Gea mungkin bukan termasuk salah satu anak bergizi buruk di Nias. Tetapi, kondisi keluarganya tidak kalah memprihatinkan. Dari awal, kisah tentang keluarga ini sudah terbayang-bayang dalam benak saya, dan membuat saya harus mengelus dada. Sulit membayangkan kehidupan sebuah keluarga dengan 5 orang anak di tengah himpitan kemiskinan. Di mana sulitnya? Kondisi rumah mereka!

Dipan ini digunakan seluruh anggota keluarga untuk tidur berdenpetan
Oprianus beserta 4 kakak dan kedua orangtuanya harus tinggal di sebuah rumah berdinding papan yang ukurannya hanya 1,5 x 2 meter saja! Tidak ada jendela, tidak ada perabotan. Yang ada hanyalah sebuah dipan tanpa alas yang harus digunakan untuk tidur mereka bertujuh! Di sanalah keluarga ini menghabiskan hari-harinya sepanjang hari, sepanjang minggu, bulan dan tahun! Ya Tuhan, bahkan kamar anak saya saja (dan dihuni seorang diri) bisa 2 kali lebih besar dari itu. Sementara mereka harus berhimpitan satu sama lain, tidur berjajar tanpa bisa membalikkan badannya sesuka hati. Belum lagi dinding papan yang dipasang tidak rapat memungkinkan angin dan bahkan hujan bertiup masuk sepanjang malam. Bagaimana keluarga ini bisa hidup sehat?

Saya mungkin tidak bisa mempercayainya, seandainya hari itu tidak datang sendiri melihatnya. Tidak mudah, karena perjalanannya harus melintasi pesawahan, kebun, dan juga hutan yang masih cukup lebat! Lebih dari setengah jam kami berjalan kaki dari ujung jalan untuk mencapai lokasi ini, menyusuri jalanan setapak yang hanya bisa dilalui kendaraan roda 2. Dulu, jalan setapak ini masih berupa jalanan tanah dan berbatu. Sejak keluarga Oprianus Gea ini ‘ditemukan’, jalanan setapak ini sudah lebih diperhatikan. Ada aspal yang sudah melapisi jalanan selebar satu meter ini. Ya, hanya satu meter saja! Tidak ada penerangan sepanjang jalan, karena rumah-rumah di sekitar hutan ini hanya ada beberapa buah saja, itupun dengan jarak yang sangat berjauhan. Terbayang kalau harus memasuki perkampungan ini malam hari, gelap gulita itu sudah pasti. Dan saya tidak yakin berani melewati jalanan ini pada malam hari seorang diri.

Jalanan menuju rumah Oprianus Gea. (foto punya @justsilly)
Terpencil, itu satu kata untuk melukiskan perkampungan ini. Sawah membentang dan hutan yang masih lebat membatasi setiap sisinya. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu, tetapi jujur saja saya tidak. Alangkah sulitnya untuk sekadar melihat dunia luar dari tempat seperti ini. Ya, miris sekali membayangkan mereka yang harus tinggal di wilayah terpencil seperti ini. Jangankan untuk melihat ingar bingar dunia, untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar pun mereka harus melangkah jauh. Sekolah? Kesehatan? Duh.

Langkah kami membelok dari jalan setapak, memasuki sebuah perkebunan karet. Di tengah-tengah perkebunan itu, terlihatlah rumah keluarga Oprianus. Setelah keringat kami berleleran (khususnya karena panas terik), akhirnya perjalanan jauh kami tiba di tujuan.

Dulu dan sekarang
Gubuk papan dan kusam ukuran 1,5 x 2 meter itu sudah hilang! Sebagai gantinya, saya melihat sebuah rumah berdinding papan yang jauh lebih luas dan bersih. Rumah bercat putih itu tidak indah dan megah, tetapi jauh lebih nyaman dibanding apa yang ada di benak saya sebelumnya. Tim Tango dan OBI sudah melakukan renovasi beberapa saat sebelumnya. Keluarga Oprianus (minus Ayahnya yang sedang sakit TB paru parah dan saat itu sedang dirawat di rumah adiknya), menyambut kami dengan senyum terkembang.

Rumah itu sudah berlantai semen sekarang, tidak beralaskan tanah lagi seperti sebelumnya. Di setiap dindingnya terdapat jendela sebagai ventilasi ruangan. Atapnya sudah menggunakan seng. Selain itu, ada pula dapur di ruangan terpisah (dulu, acara memasak dilakukan di ruangan sempit yang sama). Saya bisa merasakan kegembiraan di setiap senyum mereka. Di rumah ini mereka bisa lebih tenang merenda hari esok dan masa depan.

Lokasinya di tengah hutan
Rumah mereka yang lama ternyata tidak dihilangkan. Saat saya memasuki rumah itu, ternyata gubuk mereka masih ada di dalam rumah, sudah dibenahi dan dijadikan kamar. Sementara ruangan tambahan hasil renovasi dari Tango digunakan untuk ruangan lainnya.

Berbeda dengan anak-anak lainnya, Oprianus terus menerus menebarkan senyum. Dia tidak sulit didekati, diajak ngobrol (meski harus lewat penerjemah), atau diajak bermain. Matanya berbinar-binar. Dan saya sangat berharap, anak ini (dan anak-anak lainnya di Nias) dapat mengecap masa depan yang lebih baik setelah ini. Mereka tidak ingin dilahirkan dalam situasi sulit seperti itu. Semoga nasib akan mengubah mereka.

Kurang dari satu jam kami berada di sana. Seperti di tempat lainnya, kami membagikan mainan, pakaian, dan juga produk Tango. Saya yakin bantuan yang mungkin ‘tidak seberapa’ itu akan berarti banyak bagi mereka. Setidaknya mereka bisa mengetahui bahwa di luar sana, masih banyak orang yang peduli terhadap nasib mereka dan mendoakan masa depan mereka.

Saya meninggalkan kediaman keluarga Oprianus Gea dengan peringatan kuat untuk diri sendiri; BERSYUKURLAH! Terkadang saya mungkin lupa untuk mensyukuri nikmat yang sudah Allah berikan. Padahal, apa yang sudah saya terima dan nikmati sampai saat ini, mungkin belum pernah dikecap oleh banyak orang di luar sana. Oprianus Gea, Brian Harefa, Krisman Waruwu, dan ratusan anak Nias lainnya sudah menyadarkan saya; betapa jauh beruntungnya saya dibanding mereka.

Kaki saya kembali melangkah, meninggalkan lokasi yang entah kapan bisa saya jejak lagi. Satu yang pasti, saya tidak akan pernah melupakan hari ini. Insya Allah.

Foto bersama sebelum pulang
Tuntas sudah agenda sosial Tango #NiasHandinHand yang harus kami lakukan. Kami mungkin sudah berbagi terhadap masyarakat Banua Gea selama dua hari ini. Tetapi, tahukah kalau mereka juga sudah ikut berbagi terhadap kami? Banyak hikmah yang saya peroleh, banyak pelajaran yang saya dapat dari kegiatan ini. Dan itu priceless banget! Saya harus mengucapkan terima kasih juga pada mereka; Sawohagele Nias!

Fafalo Beach, Tuhemberua
Matahari mulai turun saat kita menepi ke Pantai Fafalo. Ini adalah salah satu pantai wisata di Nias Utara. Saatnya kita rehat sambil menikmati keindahan pantai Nias. Pantainya keren! Tanahnya landai dengan ombak yang beralun pelan. Sama sekali tidak terlihat ada ombak-ombak yang berdebur kencang. Kok bisa, ya? Pantai kayak gini cocok banget buat liburan sama anak-anak nih. Sayangnya jauh. Hiks.

Mas Anto bagian ngupas kelapa ^^
Saat itu, pantai Fafalo sepi sekali. Selain kita, tidak terlihat ada pengunjung lainnya di sekitar pantai. Fafalo benar-benar milik kita saat itu. Hehehe. Karena sepi, warung satu-satunya yang ada pun tutup, padahal banyak yang pengen banget menikmati suasana sore di pantai sambil menyeruput kopi. Pun, harapan kita untuk bisa menikmati kelapa muda pun hampir saja musnah. Belinya di manaaaa? Hehehe. Untungnya ada warga sekitar yang berbaik hati memanjat pohon kelapanya untuk kita. Tapi, harus ngupas sendiri! Hiyaaa .... Akhirnya kita gantian jungkir balik ngupas kelapa satu per satu.

Nongkrong bersama di Fafalo Beach
Dunia wisata pantai di Nias memang tidak begitu menggembirakan. Sarana dan prasarananya minim sekali. Selain wisatawan dari luar, jarang sekali masyarakat Nias yang menyengajakan diri bermain ke pantai. Iseng saya tanya kenapa? “Mas, orang Nias itu setiap hari lihat laut. Wilayah mereka dikelilingi laut. Mau ngapain liburan lihat laut lagi?” Hahaha ...  bener juga. Dan saya pun faham mengapa setiap pantai yang saya kunjungi di Nias selalu saja terlihat sepi. Lah, setiap hari juga mereka sudah ‘rekreasi’ lihat laut kok!

Bersambung lagi ke Laporan Perjalanan hari terakhir - #Day3.

Kamis, 07 November 2013

Nias Trip, Wafer Tango #HandinHand ~ #Day2

jual bantal foto
Laporan Perjalanan #Day1 bisa dibaca di sini.

#Pesta Duren

Malam itu saya tidur dengan saangat nyenyak. Pules banget sampe nggak sempat mimpi jadi Power Rangers (lah?). Mungkin karena kecapean dan kurang tidur hari sebelumnya, atau bisa jadi karena ngidam makan duren di Nias terlaksana? Howaa ... jadi inget malam sebelumnya, pulang dinner di Grand Kartika Restaurant, Rombongan Tango #NiasHandinHand sempat pesta duren di alun-alun. Kita memang datang ke Nias dalam waktu yang sangat tepat. Musim duren telah tiba! Duren bergelimpangan di mana-mana ... well, okay, ini emang lebay. Tapi suwer, itu duren bertumpuk-tumpuk banget di sepanjang jalan. Karena mba Yuna (PR Manager Tango) lagi senang hatinya melihat anak-anak manis seperti kita (hoek!), akhirnya kita digiring untuk nongkrong-nongkrong di sekitar alun-alun. Dibeliin duren! Horeee .... tentu kesempatan ini tidak boleh disia-siakan begitu saja. Seluruh rombongan tanpa malu-malu dan ragu langsung merubung si Abang duren.

5ribu rupiah saja sebiji!
Yang bikin kita syok, ternyata duren di Nias ini kurang ajar banget ... murahnya! Masa satu buah duren yang gedenya segede kepala saya cuma 5ribu perak? Nggak sopan banget, kan? Kenapa di tukang duren dekat rumah saya mahal-mahal? Duren cicitnya aja dihargai 25ribu perak. Harusnya tukang duren di Tasik studi banding semua ke Nias, biar tahu bagaimana membuat para pecinta duren senang dan riang! Oke, stop ngamuk-ngamuknya. Sekarang, mari kita pesta duren!

Aksi pembantaian duren. Hehehe
Satu demi satu duren dibelah, dan langsung ludes dalam sekejap. Gimana nggak cepet ludes kalau pas duren lagi dibelah aja tangan-tangan udah pada siap nyomot? Hihihi.  Seru! Ini benar-benar pesta duren yang menyenangkan. Apalagi Mba Yuna malah ngomporin buat ngebelah lagi dan lagi. Ternyata, beliau inilah yang justru makannya paling banyak. #Ups ... Ampun mbaaak. Hihihi. Dan ternyata sodara-sodara, sampai pesta berakhir, jumlah duren yang dibelah terhitung hanya sepuluh biji saja, padahal perasaan nyomot lagi dan lagi. Etapi, 10 biji itu banyak kan? Daan ... untuk duren sebanyak itu cuma perlu bayar 50ribu doang! Hiyaaaa .... murah amaaat? *ngamuk-ngamuk lagi sama tukang duren di Tasik*

jadi inget omongan mas Liem saat ditanya; “Buah apa yang akan dibawa kalau masuk surga?” Dia langsung jawab dengan semangat tinggi; “DUREN!” xixixi.

Lanjut ke petualangan kita di hari ke 2.

Setengah delapan pagi kita semua sudah terlihat kiyut dan cakep. Apalagi hari ini kita semua mengenakan seragam yang sama; kaos putih dari Tango. Yang spesial, kaos itu ternyata official tshirt-nya Indonesian Idol 2014 (Tango adalah salah satu sponsor utama event ini). Watchout girls, I’m the Next Indonesian Idol! Hiyaaa ... berasa jadi Delon deh make kaos itu. #Plaakk! *Nggak nyadar diri emang*

Tujuan pertama kita adalah Poskesdes Dusun VI, Banoa Gea, kecamatan Tuhemberua Nias Utara. Ini adalah Puskesmas Pembantu yang sudah direnovasi oleh Tango melalui OBI, dan melengkapinya dengan sarana dan prasarana tambahan yang dibutuhkan. Lokasinya cukup jauh dan harus turun-naik gunung selama kurang lebih 2 jam berkendara (dari hotel). Dari awal tim Tango sudah menyampaikan bahwa kemungkinan kita harus berjalan kaki cukup jauh untuk mencapai lokasi ini. Sarana jalan yang belum bagus dan berbatu-batu tidak memungkinkan kendaraan untuk masuk. Ternyata, pada saat kita ke sana, jalanan sudah cukup mulus dan beraspal sehingga memungkinkan kendaraan untuk terus melaju. Kabarnya baru selesai diaspal beberapa bulan terakhir. Jalanan mulus itu ternyata mentok di dekat lokasi Poskesdes dusun VI. Sebenarnya saya sedikit kecewa karena tidak jadi tracking sambil menikmati suasana dusun ini. Tapi, sarana jalan ini tentu sangat dibutuhkan masyarakat setempat, jadi harus disyukuri karena pembangunan sarana transportasi jalan sudah mencapai dusun terpencil ini. Mudah-mudahan akan semakin memudahkan mobilitas warga masyarakat ke depannya. Aamiin.

Tim Tango berada di Poskesdes dusun VI desa Banua Gea

Dulu, bangunan Poskesdes tidak seperti ini. Menurut penuturan mas Joni dari OBI, dulu Poskesdes ini kondisinya mengkhawatirkan. Bangunannya kecil, tidak terawat, dan bahkan hampir ambruk. Karena tidak memiliki pintu, orang bisa keluar masuk setiap saat. Bahkan setiap malam menjadi lokasi berteduh anjing yang berkeliaran. Karena itulah kebersihannya tidak terjaga, padahal semestinya pos kesehatan adalah tempat yang bersih dan sehat. Demikian pula dengan tidak adanya tenaga medis yang melakukan kunjungan rutin menjadi salah satu kendala bagi kesehatan warga dusun ini. Poskesdes jadi sebuah simbol kesehatan belaka yang justru terabaikan dan tidak dimanfaatkan secara maksimal. Mungkin bisa dimengerti karena lokasi ini awalnya begitu jauh dan sulit terjangkau sehingga tenaga medis sulit untuk melakukan kunjungan secara rutin.

Tango dan OBI mendobrak paradigma ini (eciee bahasanya). Dengan program Tango Peduli Gizi (TPG) dan Balai Pemulihan Gizi (BPG), Poskesdes ini dikembalikan pada fungsi yang seharusnya. Renovasi dan perbaikan sarana-prasarana yang ada dilakukan sehingga peranan Poskesdes bagi masyarakat benar-benar dapat dijalankan. Bangunan Poskesdes sudah jauh lebih besar dengan beberapa ruangan pemeriksaan, perawatan, toilet, dan gudang. Mengingat tidak adanya sumber air, sebuah bak penampungan air hujan yang cukup besar pun dibangun di belakang Poskesdes. Sebuah pintu teralis besi dipasang sehingga tidak sembarang orang dapat memasuki ruangan pada saat Poskesdes tidak dibuka.

Program Imunisasi
Keberadaan Poskesdes dilengkapi dengan penyediaan tenaga medis yang melakukan kunjungan rutin. Melalui pembekalan dan pembinaan, warga dusun tidak ragu lagi untuk mendatangi Poskesdes saat jadwal kunjungan medis dilaksanakan.  Saat kami berkunjung sedang dilaksanakan jadwal imunisasi. Beberapa ibu datang menggendong bayi-bayi mereka. Ruangan Poskesdes terlihat ramai. Ibu-ibu muda menunggu dengan tertib giliran bayi mereka untuk diperiksa dan imunisasi.

Rasa haru langsung terasa, mengingat dulu kesadaran atas kesehatan anak-anak mereka begitu kurang. Kesehatan seolah menjadi prioritas urutan kesekian untuk diperhatikan. Sekarang kami dapat melihat bayi-bayi yang cukup sehat karena edukasi tentang pentingnya ASI pun terus digencarkan oleh tim medis OBI. Meskipun demikian, hari itu kami masih melihat adanya bayi yang masih kekurangan gizi. Seorang bayi berusia 7 bulan hanya memiliki berat 3kg saja. Trenyuh dan bikin dada saya sesak. Untungnya, keadaan seperti itu menjadi perhatian penuh dari tim OBI untuk menjadikannya target pemulihan gizi.

Terima kasih buat Tenaga Medis yang rajin mengawal kesehatan warga
Sekitar satu jam kami berada di Poskesdes ini, ikut menyaksikan antusiasme warga dusun VI Banua Gea memeriksakan kesehatan putra-putrinya. Satu yang membuat saya miris adalah belum adanya kesadaran warga terhadap program Keluarga Berencana. Dengan usia yang masih begitu muda (usia 20-30an), rata-rata seorang ibu memiliki 4 sampai 6 orang anak. Dengan rentang usia anak yang tidak berjauhan. Tidak heran kalau Mba @JustSilly begitu gencarnya menasihati para ibu untuk peduli pada kesehatan mereka.

“Ibu-Ibu itu bukan pabrik anak. Lihat, Ibu-Ibu badannya kurus karena terlalu cape melahirkan anak dan mengurus mereka. Ibu-ibu harus terlihat cantik, sehat, dan kuat agar dapat merawat anaknya dengan baik,” celoteh Mba Silly tanpa henti. Dengan gayanya yang riang, Mba Silly bergerak dari satu ke ibu yang lain, memberikan penekanan bahwa ‘banyak anak banyak rezeki’ itu sudah tidak tepat lagi. Beliau mengingatkan bahwa program Keluarga Berencana atau penundaan kehamilan dan memberikan jarak kehamilan itu adalah sebuah program yang baik dan sudah seharusnya diikuti. Semoga saja nasihat itu melekat erat di benak mereka, termasuk para Bapak yang saat itu ikut berkumpul di depan Poskesdes.

Ayo Bapak-Bapak, jangan mau enaknya sendiri juga ya? Bikin anak itu gampang, tapi ngurusnya itu yang susah! Hehehe.

Rombongan Tango #NiasHandinHand melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini kita bergerak ke dusun lain dari desa Banua Gea. Dan ini akan menjadi acara besar karena warga tiga dusun (dusun 1-3) dikumpulkan menjadi satu di rumah Kepala Desa Banua Gea, Bapak Sodania Gea. Tim Tango sudah menyusun acara ‘Kamis Ceria Bersama Tango dan OBI”. Kali ini perbekalan yang dibawa cukup lengkap, yaitu ratusan paket yang berisi mainan, buku bacaan, dan baju bekas layak pakai. Selain itu masih ada ratusan dus  Wafer Tango yang siap dibagikan.  Bakalan seru nih!

Oya, sebelumnya Tango lewat program #HandinHand sudah mengajak seluruh masyarakat di Indonesia untuk berbagi bagi anak-anak Nias lewat program pengumpulan buku bacaan, mainan, dan juga pakaian bekas layak pakai. Ternyata yang terkumpul sangat banyak. Dan salah satu tujuan kita ke Nias itu adalah untuk menyerahkan langsung kiriman buku, mainan, dan pakaian dari para donatur di seluruh tanah air. Terima kasih banyak buat semuanya yang sudah berpartisipasi dan seluruh barang yang terkumpul sudah diserahkan semuanya kepada anak-anak Nias.


Begitu sampai, ternyata sudah banyak anak-anak dan warga yang menanti. Waah ... terharu banget. Mereka pasti sudah menunggu sejak pagi. Tanpa kesulitan mereka diminta masuk dengan tertib, lalu duduk lesehan di lantai tembok. Sebagian ibu yang membawa bayi duduk di kursi-kursi platik sekeliling ruangan. Wajah mereka penuh harap, menunggu apa yang akan kita suguhkan bagi mereka. Saya pun celingukan, kita mau ngapain dulu nih sekarang? Di susunan acara ada acara nyanyi bersama dan juga bermain games, tapi siapa yang akan memandu?

Ternyata Mba Fatsy, istri mas Bigke dari OBI, langsung menghandle acara. Bersama OBI, beliau sudah mengabdi cukup lama bagi masyarakat Nias, sehingga tidak heran sudah cukup mengenal kaum ibu dan kondisi di sana. Daan ... keramaian pun segera dimulai.  Acara bernyanyi, bergoyang, sampai mengajari anak-anak berjoged pun silih berganti. Senang rasanya melihat senyum dan tawa mereka terdengar lepas memenuhi ruangan. Ada yang malu-malu, namun banyak pula yang tampak semangat penuh rona gembira. Justru itu yang kita inginkan, ini saatnya kita bergembira semua. Hilangkan rasa takut dan malu, mari kita bernyanyi dan berjoged bersama.

Siapa yang rajin sekolah? dan tangan-tangan mungil pun teracung.

Saat bernyanyi dan berjoged usai, Tim Tango meminta saya untuk bercerita. Saya langsung mengangguk. Dari awal saya sudah bersedia melakukan apa pun yang sekiranya saya bisa. Mendongeng bukan keahlian terbaik saya, dan saya belum pernah melakukannya di depan umum sebelumnya. Biasanya, saya hanya mendongeng untuk anak-anak saya sebelum tidur. Tetapi, mari kita lakukan sekarang! Selalu ada yang pertama kali, dan saya tidak ingin melepaskan kesempatan berbagi kali ini. Momen seperti ini mungkin akan sulit untuk terulang lagi. Bercerita di depan anak-anak Nias, kapan lagi kesempatan seperti itu akan terulang?

Saya pun bergegas mengeluarkan buku saya. Picture book serial Sepatu Dahlan saya pikir sangat cocok untuk diceritakan kembali pada anak-anak Nias. Kisah Dahlan Iskan sewaktu kecil adalah kisah yang sangat inspiratif. Kesulitan dan kemiskinan Dahlan Iskan tidak menghentikan mimpinya untuk menjadi orang besar, selama ada niat dan kemauan yang kuat. Berusaha, belajar, dan berdoa, adalah tiga faktor utama untuk menggapai cita-cita. Dan kepada anak-anak Nias saya menyampaikan tentang itu. Lewat buku ‘Sepatu Idaman’, saya menggiring anak-anak (dan seluruh ibu yang datang) untuk tidak selalu putus harapan. Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan, tapi kita bisa mengubah sebuah keadaan.

Saya sedang bercerita
Saya tidak pernah seantusias itu saat berbicara di depan khalayak. Tetapi, melihat puluhan pasang mata menatap gerak dan gaya bercerita saya dengan serius, tekun mengikuti alur cerita yang dibacakan, bereaksi riuh saat saya melemparkan pertanyaan, tertawa lepas saat saya berusaha melepaskan candaan, membuat dada saya meletup-letup senang. Ada dorongan semangat yang membuat saya semakin berkobar. Saat itu saya merasa sangat dibutuhkan. Tidak pernah ada yang membacakan mereka sebuah cerita sebelumnya. Belum pernah ada yang mendongeng untuk mereka sebelumnya. Mereka benar-benar haus akan sebuah hiburan dan kegembiraan. Dan saya saangat bangga bisa berada di sana. Hiks ... asli, mata saya meleleh saat teringat momen-momen membagiakan itu. Mudah-mudahan saya diberikan kesempatan untuk kembali berbagi kebahagiaan di sana.

Ada yang asyik dengerin cerita, ada juga yang asyik makan Tango. hahaha
Yang membuat saya semakin bersemangat bukan karena melihat bagaimana anak-anak merasa terhibur, tetapi juga karena menyaksikan bagaimana Ibu-Ibu mereka tidak kalah semangatnya mengikuti cerita saya. Saat saya melontarkan pertanyaan pada anak-anak, yang paling cepat menjawab adalah ... emaknya! Hehehe

“Agar jadi anak pintar kita harus rajin belaaa ....” teriak saya.
“JAAARRR!” jawab ... EMAK-EMAKnya!

Hihihi. Sampai beberapa kali saya harus bilang; “Ibu-Ibunya diam dulu ya, biar anak-anaknya dulu yang menjawab.” Eh, tapi tetap saja, mereka lagi-lagi paling duluan menjawab. Kenapa begitu? Menurut Kakak-Kakak dari OBI, ketiadaan hiburan bagi mereka, membuat mereka tidak kalah antusiasnya dengan kedatangan kita, meskipun hiburan itu sebenarnya ditujukan untuk anak-anaknya.

Senangnya dapat buku. Dibaca yaaa ...
Melihat antusias para Ibu yang tidak kalah meriahnya dibanding anak-anak, akhirnya saya dan tim Tango menyiasati dengan mengadakan games-games hiburan khusus buat emak-emak. Setiap kali diberikan tantangan untuk menyanyi atau berjoged di depan, selalu saja ada peserta yang berebutan maju. Dan itu luar biasa menyenangkan. Setiap ide yang muncul selalu disambut dengan hingar bingar.

Di dalam ruangan semakin berjubel dengan masyarakat yang terus berdatangan. Di luar pun tidak kalah ramainya. Apalagi saat itu sudah bertepatan dengan bubaran anak-anak sekolah yang berada tidak jauh dari lokasi kegiatan. Tidak heran kalau suasana semakin ‘panas’ karena semuanya bergerak ke lokasi acara.

Di dalam dan di luar sama ramainya
Saya berangkat ke Nias dengan sebuah travel bag berisi puluhan buku dan beberapa boneka. Kesempatan itu saya pergunakan untuk membagi-bagikannya secara langsung, lewat kuis, games, tantangan maju ke depan, dan lain-lain. Tidak hanya itu, Tim Tango ternyata masih membawa buku dan mainan lebih, di luar dari paket-paket yang sudah disiapkan. Pada saat itulah semuanya ikut dibagikan. Ramai luar biasa! Semua rombongan turun tangan, membagikan ke seluruh area agar tidak ada yang tidak kebagian. Syukurlah buku-buku yang kita bawa sangat banyak, sehingga setiap anak (dan ibu) bahkan bisa mendapatkan lebih dari satu buku.

“Jangan lupa dibaca yaaa ....” saya berteriak sesekali. “Minta dibacakan sama Ibu, Bapak, atau sama Kakaknya. Kalian juga bisa saling meminjamkan dengan teman lain kalau sudah selesai membacanya.”

Ya, saling berbagi bacaan tentu akan lebih menyenangkan. Dengan begitu, mereka bisa membaca lebih banyak cerita, menemukan lebih banyak pengetahuan, dan tentu saja lebih banyak kegembiraan.

Siang itu acara ‘Kamis Ceria bersama Tango dan OBI’ ditutup dengan acara makan siang bersama. Oya, selama kita bermain bersama tadi, ada sebagian Ibu-Ibu warga yang sibuk di dapur. Mereka memasak untuk sajian santap siang kita kali ini. Ingin tahu menunya? Mereka menangkap ikan lele dari kolam mereka, memetik sayuran dari kebun mereka, dan memotong ayam peliharan mereka. Setelah dimasak, disajikan untuk dimakan ramai-ramai. Sedaaaap. Apalagi lelenya yang dibumbu acar kuning, duileee ... sedep beneeer. Tim Tango sampai nggak malu-malu buat ngambil lagi dan lagi. Hahaha. Makasih banyak ya Ibu-Ibu atas makan siangnya.

Penyerahan Produk Tango untuk keluarga PMT
Sebelum melanjutkan ke agenda lain, Tango membagikan produk Tango kepada keluarga PMT (Pemberian Makanan Tambahan). Sementara untuk parsel/paket buku, mainan, dan pakaian, diserahkan secara simbolis kepada Kepala Desa. Jumlah anak yang datang banyak sekali, sementara paket itu hanya diperuntukan bagi anak-anak keluarga PMT saja. Agar tidak timbul kekecewaan pada anak-anak yang tidak kebagian (kebanyakan karena berasal dari keluarga cukup mampu, atau keluarga yang memang tidak ingin bergabung dengan program Tango meski sudah ditawarkan), paket-paket itu akan didistribusikan belakangan.

Terima kasih Tango! ^_^
Fyuuuh ... kegiatan yang sungguh luar biasa. Berbagi itu memang indah, kebersamaan itu memang menyenangkan. Mari bersama kita membentuk satu senyuman.

Biar postingannya tidak kepanjangan, bersambung lagi ke bagian 3 ^_^

Spesial terima kasih untuk Wylvera Windayana, Dyah Rini, Haya Aliza Zaki, Fitria Chakrawati, Nunik Utami, atas sumbangan buku-buku dan bonekanya. Sudah saya distribusikan langsung pada anak-anak Nias ya.  :)