Rabu, 26 Desember 2012

[Jalan-Jalan] Icakan Megawisata Ciamis

jual bantal foto

Dari alun-alun kota Ciamis, saya berbelok ke sebelah kiri jalan menuju arah Kawali/Cirebon. Setelah sekitar 3 kilometer mengikuti jalan berbelok-belok, melewati Universitas Galuh yang seringkali dijadikan patokan, saya pun berbelok kembali ke arah kiri saat sebuah bilboard cukup besar terpampang sebelah kiri jalan; ICAKAN MEGAWISATA. Ya, ke tempat itulah saya sekeluarga menuju untuk menikmati akhir pekan kali ini, sebuah lokasi wisata yang masih terbilang baru karena belum lama dibuka.

Perjalanan saya belum berakhir di belokan tersebut. Setelah berbelok memasuki jalanan desa, jarak yang ditempuh masih cukup jauh. Tidak kurang  5 km kendaraan harus menyusuri jalanan yang sempit berkelok-kelok dengan beberapa turunan dan tanjakan terjal. Bahkan pengendara harus berhati-hati karena jalanan ini seringkali memasuki jalanan di tengah perkampungan. Ruas jalan yang sempit bahkan sesekali diapit langsung oleh pagar-pagar rumah penduduk.

Melewati jalanan desa mungkin tidak cukup nyaman mengingat aspalnya tidak terlalu mulus, di beberapa bagian bahkan ada beberapa lubang di tengah jalan. Tapi jangan khawatir, pemandangan di sepanjang jalan menuju lokasi dapat melunturkan rasa kesal anda. Pemandangan hijau di kiri-kanan jalan, hutan-hutan kecil dan bahkan hamparan lembah dan pesawahan hijau bisa membuat mata anda segar. Kita seolah diajak memasuki hutan, menaiki dan menuruni bukit dan bahkan gunung sebelum sampai di lokasi. Untuk yang baru pertama kali ke Icakan, anda akan diajak bertanya-tanya, seperti apa sih Icakan Megawisata ini? Apakah lokasi ini berada di puncak gunung, atau bahkan jauh di bawah lembah? Melihat pemandangan indah di sepanjang jalan, pasti ada harapan bahwa tempat wisata itu akan menawarkan sesuatu yang berbeda.


Icakan Megawisata berada di Dusun Cikacang, Desa Sukamulya, Kecamatan Baregbeg, Kabupaten Ciamis. Di Ciamis sendiri, mungkin ini adalah lokasi wisata keluarga pertama yang cukup lengkap dan luas. Kalau selama ini pariwisata Ciamis lebih terfokus ke Pantai Pangandaran, sepertinya Icakan bisa alternatif lain bagi wisata keluarga. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota dan relatif mudah dijangkau. Pantai Pangandaran sendiri butuh waktu 2,5 jam perjalanan dari pusat kota Ciamis, dan tentu butuh persiapan khusus kalau ingin berwisata ke sana.

Menjelang akhir kilometer ke lima, jalanan terus menanjak tanpa jeda sepanjang beberapa ratus meter. Tetapi, selepas itu.... BYAR! Pemandangan Icakan Megawisata pun langsung terhidang indah. Umbul-umbul langsung berbaris di tepian jalan menyambut setiap wisatawan yang datang dan menggiring memasuki gerbang masuk. Tak sabar saya memasuki gerbang dan mencari tahu apa yang akan ditawarkan Icakan di dalam sana. Tiket masuk arena wisata dibanderol Rp. 5.000,- per orang, plus biaya parkir Rp. 5.000,- per kendaraan roda empat.

Pemandangan hijau di sekeliling sudah sangat memanjakan mata karena kita sudah berada di puncak ketinggian. Dari area parkir yang cukup luas, terlihat sebuah bangunan masjid yang sangat indah di pucuk sebuah bukit kecil jauh di seberang. Masjid itu tidak terlalu luas, tapi begitu indah dan sejuk dengan hamparan rumput di sekeliling bak karpet alam yang menyelimuti bukit. Di antara area parkir dan bukit di mana masjid itu berada, sebuah ceruk yang sangat dalam membentang luas. Ceruk ini adalah danau mungil yang sengaja disiapkan untuk wisata air lainnya. Beberapa sepeda air berbentuk binatang sudah berada di tepian danau yang saat saya ke sana sedang kering tak berair. Ketika ceruk ini sudah berisi air kembali, tentu wisata keluarga pun akan semakin lengkap karena pengunjung bisa bersepeda air mengelilingi keindahan danau.

Menuruni areal parkir, pengunjung akan disambut sebuah patung gorila raksasa. Di sebelah kanan patung ini terdapat mini ranch, di mana pengunjung bisa naik kuda tunggang mengeliling area khusus yang sudah dibatasi. Dengan tarif sebesar Rp. 10.000,-, anak-anak akan diajak menunggang kuda dalam beberapa kali putaran. Area berkuda di puncak ketinggian dengan pemandangan lepas ke arah lembah hijau, tentu memberikan kesegaran dan keindahan tersendiri.

Di sebelah kiri patung gorila adalah gerbang tiket menuju permainan air - waterboom. Untuk ke waterboom bayar lagi? Yap, tapi anda tidak perlu khawatir karena tiketnya sangat terjangkau. Untuk yang pernah menjelajahi dari satu waterboom ke waterboom lain, tentu tidak heran dengan harga tiket masuk yang cukup tinggi, dari harga puluhan ribu bahkan sampai ratusan ribu rupiah per orang. Tetapi Icakan adalah sarana wisata buat seluruh kalangan masyarakat, sehingga tiket yang dikenakan pun dapat terjangkau oleh segala lapisan. Bahkan untuk hari Sabtu, Minggu dan hari libur, setiap pengunjung hanya dikenakan tiket seharga Rp. 10.000,- saja. Anda bisa bernapas lega kalau datang dengan rombongan keluarga, karena dompet anda tidak akan kempis secara mendadak.

Dengan harga tiket semurah itu, apa saja yang bisa kita peroleh di Waterboom Icakan? Membandingkan fasilitas permainan air di tempat ini dengan waterboom lain dengan tarif yang lebih mahal tentu tidak akan adil. Bagaimanapun ada harga ada rupa, bukan? Pengelola  menerapkan tiket masuk yang tinggi bisa jadi karena fasilitas hiburannya lebih beragam dan lengkap. Tetapi, harga tiket yang lebih murah pun bukan berarti tidak memberikan kegembiraan yang sama, bukan?

Permainan air di waterboom Icakan tidak terlalu banyak macamnya. Terhitung hanya ada 2 kolam saja yang disajikan untuk seluruh pengunjung. Kolam pertama adalah kolam bermain untuk anak dengan kedalaman maksimal sekitar 50 cm saja. Kolam dilengkapi dengan fasilitas bermain anak yang berada di tengah-tengah, seperti 'ember tumpah', dan beberapa perosotan mini. Di ujung kanan kolam, dibatasi tembok pembatas, sebuah perosotan lebih ekstrem dengan ketinggian yang cukup curam ditujukan untuk remaja atau dewasa. Ada 3 lajur bersisian yang bisa dipergunakan para pengunjung untuk menguji nyali. Tidak ada perosotan model tabung spiral yang berkelok-kelok kalau anda ingin bertanya.

Kolam ke dua adalah kolam ombak, tentunya diperuntukan bagi pengunjung yang lebih dewasa. Anak-anak masih diperbolehkan selama berada dalam pengawasan orang dewasa. Arus ombak buatan ini memang mengasyikan, karena pengunjung serasa diayungelombangkan, seolah-olah berada dalam ombak di tepi pantai. Yang menarik dan jadi keunggulan waterboom ini adalah kolam ombaknya yang cukup lega. Bahkan dibanding kolam pertama, kolam ombak ini tampak lebih luas. Sepertinya memang sengaja disediakan dan dijadikan atraksi unggulan yang akan membedakannya dengan waterboom yang ada di wilayah sekitar. Waterboom terdekat ada di Tasikmalaya dan hanya menyediakan kolam ombak yang tidak terlalu luas, sehingga akan terasa sekali berdesak-desakan dan bersinggungan satu sama lain ketika banyak orang ingin menggunakannya. Di sini pengunjung bisa lebih leluasa saat menikmati alunan ombak yang dimainkan.

Ah, tentu saja yang tidak boleh dilewatkan adalah kolam kecil untuk pijat refleksi ikan. Sebuah kolam berukuran sekitar 3x4 meter diisi oleh ratusan ikan nilem sebesar kelingking. Untuk anda yang menyukai refleksi ikan, tentu bisa duduk sejenak di pinggiran kolam dan mencelupkan kaki anda untuk 'digigiti' ikan-ikan ini. Rasanya geli tapi bikin ketagihan.

Fasilitas permainan air yang ditawarkan Waterboom Icakan memang tidak selengkap waterboom lain, tapi bukan berarti anda tidak dapat menemukan kegembiraan di sini. Apalagi pengelola sepertinya ingin memberikan kemudahan bagi seluruh pengunjung. Apabila di tempat lain, gazebo harus disewa dengan tarif dan waktu tertentu, di Icakan semuanya diberikan gratis. Pengunjung dapat menggunakan gazebo atau saung-saung yang ada dengan bebas tanpa perlu membayar. Selama saung-saung itu tidak ada yang menempati, kita dengan leluasa dapat menggunakannya.

Saung-saung ini terbuat dari bambu dengan atap daun rumbia. Lokasinya berada di dataran yang lebih tinggi sehingga pemandangan ke arah kolam dan area wisata akan terlihat menawan. Sudah terdapat tangga-tangga semen untuk memudahkan pengunjung turun-naik menuju saung-saung ini, meski anak-anak harus berhati-hati karena tanjakan tersebut cukup terjal. Pun, orang dewasa harus mengawasi anak-anak saat berada di dalam saung karena beberapa saung menjorok ke bagian luar tebing dengan ketinggian sekitar 10 meter, cukup berbahaya bagi anak-anak di bawah umur kalau bermain di pembatas luar saung.

Icakan Megawisata adalah lokasi hiburan keluarga yang cukup murah. Pengelola tidak (atau mungkin belum) menyediakan restoran khusus di dalam area Waterboom, seperti halnya di lokasi wisata lain. Di beberapa titik memang ada kios-kios makanan yang menjual makanan ringan atau mie instan cup dan beberapa jenis minuman kemasan. Selain itu, pengunjung harus membawa bekal sendiri. Tak heran kalau kita bisa menjumpai banyak keluarga yang membawa perbekalan lengkap dengan nasi timbel dan lauk-pauknya untuk disantap ramai-ramai bersama keluarga. Menyenangkan bukan?

Yang harus diperhatikan oleh pengelola waterboom Icakan adalah keberadaan kamar bilas dan kebersihannya. Saat saya ke sana, ada beberapa kamar bilas yang tidak berfungsi dan sampah sampo sachet yang bertebaran. Tidak terlihat ada petugas kebersihan khusus pula di area ini, sehingga kondisinya menjadi kurang nyaman. Mengingat di beberapa bagian area masih dalam tahap pembangunan, kekurangan ini sepertinya bisa segera dibenahi sehingga seluruh fasilitas dapat berfungsi dengan baik dan pengunjung bisa merasa nyaman.

Sesuai dengan namanya, Icakan Megawisata pasti disiapkan untuk sebuah lokasi wisata yang lengkap. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, di lokasi ini terdapat pula arena flying fox, futsal, dan lain-lain. Sayangnya saya tidak melihat area tersebut. Gerimis yang mulai turun membuat saya segera menggiring anak-anak kembali ke mobil dan tidak mengeksplorasi lokasi-lokasi lainnya. Mungkin di kesempatan lain saya akan kembali, setelah seluruh arena bermain sudah dibangun sempurna dan bisa difungsikan untuk menghadirkan kegembiraan seluruh keluarga.[]

Rabu, 19 Desember 2012

Kirim naskah PERCIKAN ke Majalah Gadis

jual bantal foto

Naskah Percikan saya dimuat di Majalah Gadis edisi 33 - Desember 2012. Judulnya 'Setangkai Mawar'. Senang banget dong pastinya, soalnya ini adalah naskah pertama saya yang dikirim ke Majalah Gadis. Lebih senang lagi, karena proses pemuatannya cepat sekali. Baru dua minggu dikirim, eh ternyata langsung dimuat! Hurraaaay .....

Sebenarnya 'Setangkai Mawar' ini adalah naskah yang sudah ditulis lama banget. Tahun 2006 kalau nggak salah. Waktu itu bentuknya masih FF (Flash Fiction). Karena ceritanya yang pendek banget, tulisan ini bingung mau dikirim ke mana. Untuk cerpen yang dikirim ke majalah rata-rata mengharuskan panjang halaman tidak kurang dari 6 halaman, sementara tulisan ini hanya 1,5 halaman saja. Wew, nggak kemana-mana kan akhirnya?

Akhirnya saya melihat informasi di FB kalau beberapa teman naskahnya dimuat di kolom Percikan Majalah Gadis. Dan hey, ceritanya singkat banget! Saya pun teringat naskah-naskah FF yang dulu pernah ditulis. Akhirnya, setelah revisi sana-sini, meluncurlah sebuah tulisan untuk Percikan. Dan Dimuat! *joget-joget*.

Kamu mau ikutan nulis Percikan untuk Majalah Gadis? Ini ketentuannya :
  • Temanya pasti tentang remaja dong.
  • Panjang tulisan 2 halaman folio (kalau ditulis di A4, kisarannya jadi 2,5 halaman deh)
  • Spasi 2 (dobel)
  • Times New Roman, 12pt
  • Tulis biodata lengkap di akhir tulisan; Nama, Alamat, Email, No. Telepon, dan Nomor Rekening
  • Jangan lupa, sertakan scan halaman pertama dari buku rekeningmu (yang terdapat nomor rekening dan nama pemilik rekeningnya itu lho).
  • Kirim via email ke Gadis.Redaksi@feminagroup.com
Ayo buruan kirim! ^_^



Rabu, 12 Desember 2012

Kado Kejutan yang Terbongkar

jual bantal foto
[1] Hari ini si Sulung ultah ke 10. Kmrn dia minta izin kalau2 hari ini bakal diguyur teman2nya di sekolah. Do it, Nak! Jgn lupa foto! :D #fatherhood

[2] Semalam beli kado kejutan buat ultah si Sulung, tapi rahasia langsung terbongkar gara2 si Bungsu ga tahan jaga rahasia :p #fatherhood

[3] kado surprise terbongkar | Si Bungsu : “kasihan kakak pengen tahu. Nanti nangis” | Hadeuuh | #fatherhood

[4] Isi kado sudah terbongkar, tapi packing harus tetep jalan *ngunci di kamar bareng si Bungsu, lalu umpetin kadonya* #fatherhood

[5] isi kado selimut Merry Kitty, tapi di dalam kamar si Bungsu teriak2; “Kakak, kadonya bukan selimut, tapi bayi-bayian kok” #ngakak #fatherhood

[6] Kado ada 2, yg satu lagi blm bocor. | Bungsu : “Ayah, Kaka blm tahu hadiah jam tangan” | psst | si Kakak ngikik di balik pintu | huwaaa #fatherhood

[7] Tadi pagi si Sulung ngorek-ngorek; “Dek, kadonya diumpetin di mana?” | Si Bungsu : *panik*| #fatherhood

[8] Si Bungsu ngebangunin | “Ayah, Kakak nanya kado” | “Jangan dibilangin!” | si Bungsi panik lagi | #fatherhood

[9] Si Sulung teriak : “Tahuu ... ditumpukan boneka!” | si Bungsu nyengir | hadeuuuuh #fatherhood

[10] Kado surprise buat ultah si Kakak gagal total tahun ini. Gpp, yang penting semua hepi. #ngakak #fatherhood

Selamat Ultah Kakak Abith yang ke 10. 
Selalu jadi anak hebat!

Dicopas dari twit saya di @iwokabqary

Selasa, 04 Desember 2012

[Cerpen] Farewel Winter

jual bantal foto
Letta masih menyisakan sisiran rambut terakhirnya, ketika cermin di depannya memantulkan seraut wajah dari balik pintu di belakangnya. Wajah itu tersenyum cerah ke arahnya, secerah sinar mentari hangat yang menerobos malu-malu tirai jendelanya.
“Letta, can we go now?” Ray berdiri tegak di ambang pintu.
Tahu sopan santun juga bule satu ini, pikir Letta geli. Rupanya Ray cukup menghargai adat ketimuran darimana cewek itu berasal, dimana cowok nggak sopan masuk kamar cewek seenaknya.
“Sebentar ya, Ray. Hari ini masih cukup panjang kalau aku minta waktu 5 menit lagi untuk sisiran kan?” canda Letta.
Well, ok. Aku tunggu di teras depan?”
“Baiknya sih gitu. Kalau nggak, mendingan kamu minta coklat panas dulu sama Mami di dapur!”
“Aku sudah minum!” teriakan Ray terdengar menjauhi kamar Letta.
Letta Cuma bisa nyengir. Ya sudah, kalau memang sudah minum sih! Mungkin maksud Ray, dia sudah minum coklat sebelumnya tadi. Hihihi
Letta meraih sweater biru dongkernya, dan segera memakainya. Meski winter baru di ambang pintu, tapi dinginnya sudah mulai menusuk tulang. Khususnya buat Letta, yang baru seminggu ini mengalami dinginnya cuaca seperti ini. Ih, sedingin-dinginnya musim hujan di Indonesia, perasaan nggak sedingin ini deh! Setelah meraih syal tebal yang tergantung di lemari, Letta masih melirik sekilas bayangannya di cermin, sebelum akhirnya melangkah keluar kamar.
Letta menghela nafas berat. Hari ini hari terakhirnya di Dublin. Setelah seminggu ini dia menikmati segala keindahan yang ditawarkan ibukota Irlandia ini, besok dia harus terbang pulang. Hari ini Papi selesai mengikuti pertemuan tentang kepariwisataan, dan besok mereka ; Letta, Papi dan juga Mami harus kembali ke Bandung. Ih, perasaan baru kemarin mereka sampai disini.
Kalau saja boleh nawar, Letta ingin semingguuuuuuuu … lagi mereka tinggal disini. Tapi sepertinya Papi akan bertindak tegas menyeret mereka kembali pulang. Biaya mengikuti seminar ini memang dibiayai Hotel tempat Papi kerja, tapi semua biaya Letta dan Mami ikut kesini kan dirogoh dari tabungan Papi! Dan itu nggak sedikit kan? Untung saja ada kolega Papi yang tinggal di Dublin, dan mereka dengan senang hati memberikan akomodasi penginapan gratis bagi Letta dan keluarga. Kalau nggak, biayanya kan semakin bengkak tuh!
Setelah pamitan sama Mami dan Tante Stella, Maminya Ray, Letta bergegas keluar. Ray pasti sudah tidak sabar mengantarnya kembali keliling kota Dublin untuk yang terakhir kalinya. Kali ini harus all day long! Dan tidak boleh ada sejengkal pun yang ketinggalan.
Ray sudah berdiri di teras. Badan tinggi tegapnya terbebat dalam sweater putih bergaris biru. Rambut pirang ikalnya menyembul dari balik kupluk warna biru, senada dengan garis biru sweaternya. Matanya yang kehijauan berpendar menyambut kedatangan Letta dari dalam rumah.
“Ayo!” Ray menarik lengannya keluar halaman.
“Hey? Kenapa mobilmu, mogok?” Letta memandang heran ke arah garasi yang sudah terbuka, tapi Ray sepertinya tidak bermaksud menggunakan mobilnya.
“Mobilku baik-baik saja. Aku hanya ingin mengajakmu naik bus!” cengir Ray.
Wah? Letta terbeliak. Sepertinya usul yang sangaaaat bagus. “Kita akan kemana sekarang?”
“Keliling kota? Menjelajah sudut-sudut yang biasanya hanya kamu lewati saja. Sekarang kita berjalan menyusurinya!”
“Setuju!”
Well, kita harus segera. 5 menit lagi bus ke downtown akan tiba di bus stop terdekat. Terlambat 1 detik, kita harus menunggu 15 menit lagi! Taruhan, aku yang paling dulu sampai ke bus stop kalau kita adu lari? Ayo ….”
“Hey, curang!! Belum aba-aba kok sudah lari duluan sih?”
Ray tertawa penuh kemenangan. Mereka berkejaran menyusuri pinggir jalan yang tidak terlalu ramai. Daun-daun berguguran dengan indah dalam semburat sinar matahari yang keemasan. Rumah Ray, dimana mereka tinggal berada di daerah Swords, pinggiran kota Dublin, dan butuh setengah jam mencapai pusat kota naik kendaraan. Sambil berlari mengejar Ray, Letta merapatkan syal di lehernya. Angin yang berhembus membuatnya sedikit mengigil. Semakin mengigil mengingat hari ini adalah hari terakhirnya bersama Ray.
Letta menatap Ray nanar.

***


Angin dingin berhembus menyapu wajah Letta yang tampak kusut. Perjalanan panjang belasan jam dari Jakarta, membuatnya letih. Dublin sedang menyambut musim dingin tiba. Daun-daun berguguran satu demi satu, jatuh beriringan menghempas tanah.
“Kamu pasti Letta!” sesosok tinggi tegap langsung mengulurkan tangannya, bertepatan saat Papi bersalaman dengan Om Hans, dan Mami dengan tante Stella.
Letta mengernyitkan dahinya. Siapa nih, sok akrab banget?
“Aku Ray, anak mereka, teman ayahmu! Selamat datang di Dublin!”
Letta tersenyum mengenang saat pertama kalinya menginjak bumi Dublin. Ray yang sok akrab, dan sedikit jail membuat kekhawatiran jadi ekor Mami kemanapun Mami akan melangkah, sirna sudah. Awalnya Letta khawatir hari-harinya disini hanya akan diisi dengan jalan-jalan berdua bersama Mami, tapi ternyata ada Ray!
Dan selanjutnya Ray ada dalam setiap langkahnya menjelajahi setiap sudut kota Dublin. Menikmati setiap lekuk Trinity College, Dublin castle, dan bangunan tua lainnya yang antik dan mengagumkan, serasa selebritis di dalam museum lilin nasional, melihat-lihat proses pembuatan bir Guinness di Guinness storehouse, menikmati segelas irish coffee di Temple Bar, menikmati sore yang indah dengan guguran daun-daun di Phoenix Park, dan menyaksikan kehidupan malam dengan lampu yang berkilauan dari atas Penny Bridge. Atau bahkan ketika tersaruk-saruk di lorong-lorong kecil penjual cendera mata, mencari barang murah meriah (tapi lucu) buat oleh-oleh.
Letta menarik nafas dalam. Besok semuanya musti berakhir, Ray?
“Hey, bengong aja! Kenapa Letta?”
Eh? Letta tersentak. Ray sedang menatap bingung. “Kita sudah hampir sampai di pusat kota. Lihat, kita turun di bus stop depan! Awas syal-mu terlepas.” Tangannya yang kekar meraih syal biru muda yang melorot ke pangkuan Letta. Dengan perlahan Ray membelitkan kembali syal itu di leher Letta, dan merapikannya. Letta merasa hembusan hangat nafas cowok itu menerpa halus pipinya. Wajah Ray begitu dekat.
“Mungkin kamu belum terbiasa dengan cuaca dingin, dan syal ini akan cukup menghangatkan kamu. Next timekamu ke Dublin lagi, mudah-mudahan kamu sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini.”
Itulah Ray, aku tidak tahu kapan aku bisa kembali lagi kesini. Bertemu kamu lagi! Apa mungkin Papi mau mengajaknya lagi kalau ada seminar pariwisata lagi di sini? Belum tentu, Ray!
“Kamu kenapa sih, Let? Wajahmu murung terus sejak di bis tadi?” Ray menghentikan langkahnya, dan menatap Letta dalam. “kamu tidak suka jalan kaki ya? Maaf, aku kira kamu senang kalau kita …”
“Tidak Ray, aku suka. Sungguh!” Letta mendongak. Cowok itu begitu tinggi dibandingkan tubuh mungilnya. “Aku hanya sedih.”
“Sedih?” kedua alis Ray bertaut.
“Ini hari terakhirku di Dublin,” desah Letta. Dan hari terakhir bersamamu! Erangnya dalam hati.
Tak disangka kalau jawaban Letta malah membuat Ray tergelak.
“Dan kamu akan menghabiskan hari terakhirmu dengan sedih? Dengan wajah murung seperti itu?”
Letta menghentikan langkahnya. Tangannya menyilang di dada, dengan dada yang berkecamuk ragu. Ray malah tertawa dengan semua ini? Dia senang aku tidak akan mengganggu hari-harinya lagi? Ray bahagia tidak harus mengantarnya lagi keliling kota dan tempat-tempat wisata? Ray senang akan terbebas dari segala kecerewetannya menayakan ini-itu tentang kota kelahirannya?
C’mon Letta, tidak sepatutnya kamu sedih seperti itu. Justru karena ini hari terakhir kamu disini, kamu harus menghabiskan kegembiraanmu!” Senyum Ray terbuka lebar. “Cheer up! Berikan senyum kamu buatku!”
Letta menarik bibirnya ke atas dengan terpaksa.
“Tidak seperti itu! Senyum yang selalu mengisi hari-harimu kemarin! Senyum seorang Letta yang cantik!” senyum itu keluar lagi dari bibir Ray, senyum yang sering membuat dada Letta berdenyut-denyut tak karuan.
“Ayo ah,” Ray menarik tangan Letta, tak sadar kalau yang ditariknya sudah mulai mengembangkan senyum tulus. Ray benar, rugi rasanya kalau harus murung di pagi yang cerah ini.
Upper O’ Connell street terlihat mulai ramai dipadati manusia. Beberapa kumpulan terlihat bergerombol di sekitar monumen city center (spire of Dublin), menikmati sinar matahari yang hangat, sementara yang lainnya memadati toko-toko pakaian yang mulai obral pakaian-pakaian musim dingin. Besok lusa, Oktober akan semakin dingin. Sementara itu para turis berdesakan di toko-toko cenderamata khas Irlandia. Hiruk pikuk yang menyenangkan dan menyegarkan pikiran Letta.
Letta menghirup udara dalam-dalam. Segar. Matanya menatap berkeliling. Bangunan antik mendominasi dimana-mana. Bangunan-bangunan antik dengan ukiran-ukiran yang indah. Sejauh kaki melangkah dan mata memandang, bangunan bersejarah ada dimana-mana.
“Dublin memang penuh dengan bangunan bersejarah dan budaya, Letta.” Ray seolah mengerti kemana arah pandangan cewek itu. “Kamu ingat kemarin-kemarin kita banyak melewati castle, museum, dan gereja tua yang sudah ribuan tahun umurnya?”
Letta mengangguk. Bangunan-bangunan yang sangat indah, dia serasa kembali ke jaman kerajaan selama ini. Pastinya setiap bangunan itu meninggalkan sejarah yang sangat menarik
“Dublin ditemukan awal abad ke sembilan ketika bangsa Viking melakukan invasi besar-besar di luar Skandinavia saat itu. Sejak saat itu Dublin menderita karena banyaknya perang yang terjadi dan berbagai masalah. Tapi abad ke dua pulah ini Dublin berdiri dengan identitasnya sendiri dan hadir menjadi kota modern yang kaya akan sejarah dan bangga atas masa lalunya.” Ada nada kebanggaan hadir dalam suara Ray. Terlihat jelas betapa cowok ini sangat mencintai kota dan sejarah nenek moyangnya.
Detak waktu terus bergerak cepat tanpa bisa dihentikan, berpacu dalam detak dan debar tanpa tentu. Ray membawa Letta ke Bargain Books, toko buku langganannya yang memberikan diskon harga gila-gilaan, membelikan Letta tshirt kaos tim sepakbola kesayangan Ray di Carroll’s, makan siang di Burger King, dan menyusuri jajaran pub demi pub yang selalu ramai setiap malam di area Temple Bar.
Langkah-langkah Letta semakin melemah … diliriknya jam mungil di pergelangan tangannya dengan gelisah. Beberapa jam lagi kota ini akan berselimut kelam dengan kerlip lampu bak kunang-kunang. Memang indah, tapi saat-saat yang ditakutkan akan segera tiba, dan semua akan berakhir. Tidak akan ada lagi keindahan seperti ini yang bisa dinikmatinya nanti, tidak akan ada lagi dingin, tidak akan dilihatnya lagi castle bak istana di negeri dongeng, bangunan antik yang memukau,  padang rumput yang hijau, dan … tidak akan ada lagi Ray!
Daun-daun di Phoenix park masih terus berguguran, luruh seperti hancurnya perasaan Letta. Di sebelahnya Ray berjalan perlahan dalam diam.
“Letta,” Ray mencekal lengan gadis itu tiba-tiba, dan menuntunnya ke bangku taman, dan duduk disana menghadap kolam taman dengan beberapa angsa putih berenang di atas air yang beralun pelan. “Mungkin aku pun harus jujur terhadapmu sekarang.”
Letta menoleh, menatap Ray dengan tanda tanya besar. Kenapa Ray? Tanyanya tak terucap.
“Seminggu ini aku senang sekali bisa menemanimu, berkeliling menunjukkan setiap jengkal dari kota yang sangat aku cintai, menunjukkan apa yang kami punya dan banggakan.”
“Tapi apa Ray?”
Harus ada kata tapi setelah kalimat itu, dan Letta tak sabar untuk mendengarnya.
“Aku sedih harus kehilangan kamu!” mata Ray menatap dalam.
Letta membuang muka, jauh ke hamparan rumput di sampingnya. Phoenix Park yang sangat luas terasa sepi, hanya suara daun-daun yang bergemerisik tertiup angin yang menemani mereka. Suara angin yang menerbangkan guguran daun dan terhempas jatuh.
Kamu merasakan hal yang sama Ray? Batin Letta sedih. Kehilangan kebersamaan yang sudah terjalin seminggu ini.
Letta membalikkan badan, menghadap Ray, dan memberikan senyum yang dipaksakannya. “Hey, suatu saat kita akan bertemu lagi kan?”
Mata itu terasa kosong, bening tapi hampa. “Kapan?”
Someday!”
“Kapan?”
Letta mengangkat bahunya yang terasa berat. “Kita tidak pernah tahu, Ray!”
“Tinggallah disini, Letta!”
Mata Letta terbelalak. “Are you crazy? Ray, kamu tahu itu tidak akan mungkin!”
Ray mengangkat kedua kakinya, naik ke atas bangku taman, dan memeluk lututnya. Matanya menatap lurus ke depan.
“Kamu gadis yang sangat berbeda, Letta!” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan. “Kamu orang yang lucu!”
“Heh, seperti badut?”
Ray tergelak ringan. Matanya masih menatap ke depan. “Bukan seperti itu dong. Kamu periang, hangat, dan perhatian.” Ray menoleh, menatap bola mata Letta dalam, “kamu sudah membuat saya merasa sangat dibutuhkan!”
“Tentu saja dong, Ray! Tanpa kamu aku bisa nyasar-nyasar disini!” Letta ikut tergelak.
“Tidak seperti itu, Letta. Kamu memperlakukan aku beda dengan apa yang dilakukan cewek-cewek di Dublin sini.”
“Itu karena budaya kita berbeda!”
“Dan aku merasa nyaman dengan perbedaan itu. Aku merasa sangat dihargai. Ah sudahlah, mungkin kamu tidak akan mengerti karena aku tidak bisa mengungkapkan apa sebenarnya yang aku rasakan.”
Mungkin aku mengerti Ray, mungkin saja kamu memiliki perasaan yang sama dengan yang aku rasakan. Mungkinkah?
Ah Ray, aku semakin tidak bisa menahan perasaan itu tumbuh perlahan seminggu ini. Tidakkah kamu tahu bahwa setiap kali kita mengunjungi setiap castle disini, aku merasa sebagai sebagai princess dan kamu pangerannya? Tidakkah kamu tahu bahwa aku pun merasa sangat nyaman berjalan di sampingmu, mendengarkan celotehmu, tertawa dalam semua leluconmu?
Ray menghela nafas berat. Kemudian membalikkan badannya ke arah Letta, meraih kedua telapak tangan dan menggenggamnya erat.
“Mungkin ini bodoh, dan kamu akan menertawakannya. Seminggu adalah waktu yang sangat singkat untuk meyakinkan diri terhadap perasaan ini, tapi aku tidak akan punya waktu lagi. Aku sayang sama kamu, Letta!”
“Ray?”
“Tertawa lah Letta, aku tidak perduli.”
“Ray …. Kita mempunyai perasaan yang sama!”
Letta merasa tidak ada yang perlu disembunyikannya lagi. Biarlah semuanya terungkap sebelum penyesalan itu tiba.
“Letta?” Mata Ray terlihat berpijar.
Letta mengangguk dalam senyum getir, merasakan genggaman tangan Ray semakin menguat.
“Haruskah kita bergembira? Meski akhirnya kita harus mengakhirinya dengan kesedihan dan salam perpisahan?”
“Aku tidak tahu, Ray! Aku benar-benar tidak tahu!”
Sepasang angsa terbang melintas kolam, dan matahari bergerak turun perlahan, bersembunyi di balik rimbunnya pohon oak, kenari dan pinus di bagian barat taman. Udara semakin dingin menusuk tulang, memaksa mereka mengetatkan syal dan sweater mereka.
“Kita masih bisa berkirim email kan, Ray?”
“Bukan kalimat mutiara yang bertaburan bunga yang aku harapkan, Letta! Aku ingin tetap bisa menatap wajahmu, matamu. Mendengar candamu dan keriaanmu!” ada helaan nafas di akhir kalimatnya. Semua terasa semakin berat.
Letta kembali terdiam.
“Semua harus berakhir disini? Sekarang?”
“Meskipun kita mencoba mempertahankannya, semua tetap akan berakhir, Ray. Jarak kita terlalu jauh.”
“Tunggu aku di suatu waktu, Letta!” ada nada harap tertuang disana.
“Kapan?”
“Tetaplah menunggu waktu itu. Sampai kamu merasa bosan untuk menungguku!”
Matahari semakin tua, dan kegelapan mulai menjelang. Kunang-kunang merkuri mulai terpasang dan berpendar di mana-mana.
“Saatnya kita pulang, Ray,” Ditepuknya bahu lelaki muda itu perlahan. “Senja sudah berlalu.”
“Aku tidak ingin pulang.”
“Kita harus pulang! Kau mau aku dingin membeku disini?”
Ray bangkit perlahan dari duduknya, kemudian melangkah gontai di sisi Letta. Tangan mereka bertaut erat. Kuat dan tak ingin lepas.
Winter baru tiba di bumi Dublin, tapi sudah berakhir di hati Letta, dengan meninggalkan beribu rasa. Semua rasa yang mungkin akan membekas selamanya.
Farewell Winter, selamat tinggal Ray! []


Cerpen ini pernah dimuat di Majalah STORY edisi Desember 2009