Mengunjungi Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) jadi salah satu tujuan liburan di Bandung kali ini. Meskipun sudah seringkali melewati museum ini (bahkan foto-foto di luarnya), belum sekalipun kami menyempatkan diri untuk masuk. Kali ini, sudah saatnya anak-anak tahu tentang kekayaan sejarah negeri ini. Konferensi Asia Afrika akan banyak ditemukan dalam mata pelajaran mereka di sekolah, dan alangkah baiknya kalau mereka mengetahui lebih banyak dari sumber aslinya.
|
Gedung Merdeka (foto by. infobdg.com) |
Museum Asia Afrika berlokasi di Jalan Asia Afrika, tepat sebelum alun-alun dan Mesjid Agung Bandung. Dari nama jalannya saja sudah ketahuan kalau di tempat inilah ajang pertemuan para petinggi negara-negara Asia dan Afrika berlangsung pada tahu 1955 dulu. Sebagai jalan utama di Kota Bandung, nama Asia Afrika sangat layak disematkan, karena konferensi inilah nama Kota Bandung (dan Indonesia) mencuat di seluruh penjuru dunia.
Gedung Merdeka (di mana Museum Asia Afrika menjadi salah satu bagiannya) adalah salah satu cagar budaya di Kota Bandung yang sangat terawat. Keaslian bentuk bangunan tetap dipertahankan, tidak saja sebagai bangunan yang jadi saksi dan menyimpan banyak sejarah, tetapi karena juga keindahannya. Gedung ini didirikan pada tahun 1895 sebagai lokasi berkumpulnya orang-orang Eropa untuk menikmati hiburan dan bersosialisasi (Societeit Concordia). Tahun 1926, gedung ini mengalami renovasi lewat sentuhan tangan arsitek Belanda yang juga menjadi guru besar di Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB), yaitu Wolff Schoemacher, Aalbers dan Van Gallen. Gaya Art Deco kental mewarnai bangunan seluas 7.500 m2 ini, dan bisa dinikmati keindahannya sampai sekarang.
|
Mengisi daftar pengunjung (dokpri) |
Kami memasuki pintu masuk tepat pukul 9 pagi, bertepatan dengan jadwal beroperasinya museum ini. Sebenarnya, kami sudah berada di sekitar lokasi dari pukul 8 pagi. Hanya saja jalanan masih ditutup sehubungan dengan agenda Car Free Day (CFD) setiap hari Minggu pagi. Karena itu, beberapa kali kendaraan kami berputar-putar mencari area parkir yang tidak jauh dari lokasi. Setelah tiga kali memutar, akhirnya kami mendapatkan parkir di Jalan Cikapundung (belakang gedung Merdeka), sehingga tidak terlalu jauh berjalan kaki.
Bersama kami, sudah banyak pula masyarakat yang memasuki museum. Tujuannya tentu saja sama; wisata sejarah. Awalnya saya menduga akan memasuki sebuah museum yang sarat dengan nuansa kelam dan tidak begitu terawat, seperti biasanya kami memasuki museum-museum lain. Tapi ternyata tidak, Museum Konferensi Asia Afrika memberikan nuansa yang sangat berbeda. Begitu masuk saja, semburan dingin dari mesin pendingin udara langsung terasa, menguapkan sengatan panas cuaca Bandung saat itu. Adem.
Tak ada biaya masuk yang harus dibayar. Setiap pengunjung dapat memasuki Museum Asia Afrika secara cuma-cuma. Cukup mendaftarkan diri di meja tamu, kita dapat menikmati koleksi museum ini sepuasnya.
|
Daftar kepala negara yang hadir di KAA (dokpri) |
Modernisasi sudah merasuk di museum ini. Gedung tua dan museum memang tidak selalu harus diidentikan dengan kekunoan. Meskipun menyajikan sejarah dan memajang benda-benda antik peninggalan masa lampau, tidak lantas harus disajikan dalam nuansa kental tempo dulu. Lantai yang bersih dan bening, rak pajangan yang rapi, ruang pameran yang lapang, membuat pengunjung dapat leluasa dan nyaman menikmati seluruh koleksi yang ada.
|
Museum yang ramah dan nyaman, bahkan bagi anak balita (dokpri) |
Museum Konferensi Asia Afrika tentu saja menyuguhkan sejarah tentang konferensi yang digelar tahun 1955 lalu. Dipaparkan dalam bentuk tulisan, gambar (foto dokumenter), audio, serta visual yang akan memberikan wawasan lebih tentang konferensi ini. Sebuah wisata sejarah yang sangat bermanfaat tentu saja, tidak saja buat orang dewasa, terlebih buat anak-anak. Dikemas dalam sebuah acara jalan-jalan, anak-anak tentu dapat menyerap lebih mudah segala informasi yang ditemukannya. Liburan yang menyenangkan, bukan?
|
Dokumentasi foto yang lengkap |
Berada di sini saya seolah dibawa kembali pada keriuhan gelaran konferensi tahun 1955. Foto-foto dokumenter terpajang besar dan memenuhi hampir setiap dinding kaca ruangan, lengkap dengan keterangan foto yang menggambarkan kejadian saat itu. Tak hanya itu, perangkat dan fasilitas yang digunakan dalam konferensi pun ikut dipamerkan, seperti mesin tik, perekam gambar, hingga ke meja kursi yang pernah digunakan. Kita juga dapat menyaksikan langsung arsip/kliping berita pelaksanaan konferensi dari berbagai negara yang tersimpan dalam lemari kaca. Sebagai sumber informasi, tentu saja pengetahuan tentang konferensi Asia Afrika yang dipaparkan di sini jauh lebih akurat dan lengkap dibandingkan informasi dari sumber lain.
|
Meja Kursi yang pernah digunakan dalam KAA (dokpri) |
|
|
Mesin Tik yang digunakan selama KAA (dokpri) |
|
Koleksi buku/kliping media yang memberitakan KAA (dokpri) |
Tak hanya dokumentasi foto dan informasi yang bisa kita dapatkan di sini. Yang terutama tentu saja kita dapat menyaksikan langsung ruangan konferensi. Ini tentu saja jadi bagian paling seru. Memasuki ruangan ini seolah membayangkan diri berada pada saat kejadian, beriringan masuk, menempati kursi yang disediakan, lalu mengikuti jalannya konferensi bersama tamu kehormatan dari 29 negara yang hadir. Keren bukan?
|
Ruang Konferensi KAA (dokpri) |
|
Dasa Sila Bandung yang ditulis dalam beragam bahasa (dokpri) |
Ya, wisata sejarah ternyata tidak kalah menyenangkan dengan wisata kuliner maupun wisata permainan. Terlebih banyak manfaat yang kita peroleh dengan wisata ilmu seperti ini; selain pengetahuan yang bertambah, biaya pun minimal sekali. Tertarik dengan Museum Konferensi Asia Afrika ini? Ayo, ke Bandung!
|
Liburan yang menyenangkan! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar