Rabu, 16 Januari 2013

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?

jual bantal foto
Picture from : www.guardian.co.uk
Beberapa kali saya mendapatkan pertanyaan, baik di facebook, twitter, maupun di blog ini juga, seperti ini :
"Bolehkah kalau naskah saya lebih panjang dari ketentuan yang disyaratkan oleh penerbit?"
"Kenapa sih harus dibatasi segala? Bukankah lebih tebal ceritanya akan lebih asyik?"
"Di luar negeri, novelnya tebel-tebel. Nggak ada tuh pembatasan 150-200 halaman?"

Ya, kira-kira seperti itulah inti pertanyaannya. Saya coba bantu jawab ya, semoga pemahaman saya tentang ini tidak melenceng dari yang sebenarnya. Oya, bahasan saya di bawah ini merujuk ke penulisan naskah novel (remaja/dewasa) ya, bukan cerpen, artikel, atau buku cerita bergambar untuk anak.

Penerbitan buku adalah sebuah industri, sehingga jelas harus diperhitungkan untung ruginya. Tidak mungkin ada sebuah penerbit yang menerbitkan buku dan berharap bukunya tidak laku. Untuk apa? Padahal menerbitkan buku berkaitan dengan sejumlah pelaku buku yang harus dibayar; penulis, ilustrator, kru yang bekerja untuk penerbit tersebut, percetakan, dan tentu saja ongkos produksinya!. Memangnya kertas dan tinta nggak usah beli?

Lalu, apa kaitannya? Jelas banget, dong. Penerbitan sebuah buku setidaknya harus bisa balik modal. Syukur-syukur bisa best seller dan menghasilkan keuntungan besar. Tidak hanya penerbit yang senang, penulisnya pun akan ikut senang karena royaltinya menggelembung. Karena itu, penerbit membuat kebijakan agar produksi mereka benar-benar bisa diserap oleh pasar. Caranya? dengan menyeleksi ketat naskah-naskah yang masuk. Oke, itu sepertinya tidak perlu dibahas karena semua pasti sudah faham.

Sebuah buku akan berkaitan dengan ongkos produksi. Semakin tebal bukunya, ongkos produksi semakin tinggi, dan harga jual buku akhirnya akan jatuh lebih mahal. Coba lihat, mana ada sebuah buku tebal dihargai murah? *abaikan saat ada obral, karena momen obral biasanya untuk menghabiskan sisa stok buku terbitan lama yang ada di gudang*. Karena itulah, penerbit menerapkan pembatasan halaman agar ongkos produksi bisa ditekan dan harga jual buku pun masih berada pada kisaran harga yang 'aman' dan terjangkau oleh calon pembeli. Apalagi tidak semua penikmat buku memiliki budget besar untuk sebuah buku.

Sekarang ini rata-rata penerbit mensyaratkan panjang sebuah naskah novel berkisar antara 150 - 200 halaman A4, dengan spasi 1,5.  Setelah menjadi buku hasil cetak, jumlah halaman sebanyak itu biasanya akan menjadi 200an - 300an halaman (tergantung ukuran buku, font, dan kerapatan yang digunakan).

Lantas, pertanyaan susulan pun kemudian merujuk pada sejumlah penulis lokal yang ternyata bisa menerbitkan novel-novel tebal karyanya. Sebut saja Andrea Hirata, Kang Abik, Tasaro GK, Dee Lestari, dan beberapa nama lain. Mengapa mereka bisa? dengan novel setebal itu, dipastikan kalau naskah mentahnya akan melebih dari kuota maksimal 200 halaman.

Melihat nama tersebut di atas, siapa sih yang menyangsikan tulisan mereka? Karya-karya mereka selalu ditunggu penggemarnya yang jumlahnya sudah sedemikian banyak. Dengan buku setebal apa pun, dan harga berapa pun, ribuan penggemarnya sudah menunggu dengan antusias. Nama mereka seolah sudah menjadi jaminan kelarisan sebuah buku. Tidak heran kalau penerbit tidak ragu lagi untuk menyediakan ongkos produksi dalam menerbitkan karya mereka. Bahkan anggaran promo yang besar pun disiapkan untuk menciptakan gaung bukunya di seantero nusantara. Cap best seller sepertinya sudah ada di depan mata dan hanya menunggu waktu saja.

Bagaimanapun, nama penulis ikut mempengaruhi terhadap penjualan sebuah buku. Kehati-hatian sepertinya diterapkan oleh Penerbit saat menerbitkan karya penulis baru, mengingat pangsa pasar yang belum jelas (belum memiliki penggemar tersendiri). Asumsi saya, untuk itulah kaitan pembatasan halaman ini diterapkan, sehingga bukunya tetap dapat dijual dengan harga terjangkau. Seandainya bukunya tidak laku, kerugian ongkos produksi tidak akan setinggi kalau bukunya tebal, kan?


Kenapa di luar negeri bisa? Buktinya JK. Rowling bisa menerbitkan Harry Potter jilid pertama yang tebalnya seukuran bantal? Hmmm ... setahu saya nih, penulis di luar negeri sudah memiliki agen naskah tersendiri. Sebelum dikirimkan ke penerbit, si agen sudah mengacak-acak naskahnya sedemikian rupa, sehingga kelayakan naskahnya bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan tidak sekali dua kali si Agen meminta revisi pada penulisnya, bisa berlangsung beberapa kali sampai naskahnya benar-benar siap jual. Lagi pula, tahu kan kalau naskah Harry Potter ini sudah ditolak puluhan kali sebelum akhirnya diterbitkan dan menjadi mega hits di seluruh dunia? Siapkah kamu menerima penolakan puluhan kali di sini?

Jadi, penulis pemula tidak bisa mengajukan sebuah naskah yang tebal? 300 halaman? 400 halaman? Oh, peluang sih pasti akan tetap ada. Coba ajukan sebuah naskah yang luar biasa asyik, keren, dan sangat unik. Penerbit pasti akan dengan suka cita menerbitkannya. Meski kamu masih penulis baru, tapi banyak cara untuk menyiasatinya. Untuk mendongkrak buku dan juga penulisnya, siapa tahu malah akan diagendakan jadwal road promo sebagai branding. Kesempatan akan selalu terbuka. jadi, pastikan kamu sudah menulis naskah yang hebat kalau memang mau mengajukan naskah di luar batasan halaman maksimal yang disyaratkan.


Menurut pendapat saya sih, tak ada salahnya kok mengikuti aturan yang disyaratkan penerbit. Pertimbangan mereka pasti sudah berdasarkan alasan-alasan yang kuat. Buat saya sendiri 200 halaman itu sudah bikin ngos-ngosan nulisnya. Rekor naskah novel yang pernah saya tulis sampai saat ini adalah 160 halaman. Tapiiii ... kalau memang kamu punya alur naskah yang sangat panjang, kenapa tidak dipecah saja menjadi beberapa bagian? Dijadikan trilogi, misalnya? Bisa saja, kan?

Oya, tulisan ini hanya opini saya saja. Kalau ada koreksi atau tambahan, silakan lho, ya, biar lebih lengkap.

Semoga membantu. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar