Dua minggu lalu (11 November 2015), si Bocil (Anggora, 10-11 bulan) menunjukkan gejala-gejala sakit. Saya menganggapnya biasa saat dia seringkali muntah bulu (hairball). Berdasarkan informasi yang saya peroleh di internet, hal yang wajar kucing memuntahkan bulu yang tertelan dan menggumpal menyumbat kerongkongan. Tetapi, saya mulai menganggapnya tidak biasa saat muntahnya jadi rutin setiap hari. Tidak hanya bulu yang keluar, tetapi juga cairan dan makanan yang sudah tertelan. Terlebih saat kotorannya kemudian menjadi lembek dan encer.
Apakah karena saya baru saja mengganti makanannya? Sudah sejak awal November saya mencoba mengalihkan makanan si Bocil dari merk Blackwood ke Proplan. Bukan karena Blackwood tidak bagus (menurut referensi, Blackwood kandungannya justru lebih bagus karena tidak mengandung grain), tetapi karena merk ini jarang sekali terdapat di petshop di kota saya. Hanya ada 1 petshop yang menjual Blackwood, dan itupun saya takut mereka tidak akan menjual lagi kalau stok sudah habis (beberapa kali kejadian saya ganti merk (Austin, Pet Forrest) karena stok merk tersebut habis dan mereka tidak restock lagi. Duuh ... sempat pesan online, tapi berat di ongkos!). Akhirnya saya memilih merk Proplan yang memang tersedia di mana-mana. Dua minggu itu, saya mencampur Blackwood dengan Proplan untuk mengantisipasi ketidakcocokan makanannya yang biasanya mengakibatkan diare. Tetapi, kenapa mencretnya terjadi setelah dua minggu masa peralihan makanan? Kenapa bukannya dari awal?
Saya akhirnya memberikan Blackwood saja tanpa campuran. Tapi, kotorannya tetap lembek, dan semakin parah! Muntahnya semakin sering terjadi, dan diarenya semakin akut. Si Bocil sudah tidak mengenal lagi litter box nya. Ia buang kotoran tanpa bisa ditahan lagi. Muntahan dan kotoran berceceran di mana-mana. Nafsu makannya pun perlahan-lahan menghilang. Dia hanya mau makan sedikit wetfood dan tidak menyentuh dry foodnya sama sekali.
Yang membuat saya panik adalah; apakah ini tanda-tanda si Bocil keguguran? Ya, saat itu si Bocil sedang hamil beberapa minggu. Perkiraan, awal Desember ini dia melahirkan. Kecurigaan saya semakin bertambah ketika keluar cairan darah dari vaginanya terus menerus. Huwaaa ... ini adalah kehamilan pertama yang sudah kami tunggu. Setelah beberapa kali menahan birahi kawinnya karena masih terlalu muda, awal Oktober saya akhirnya mengawinkan si Bocil dengan jantan dari ras Himalayan.
Panik membuat saya segera membawanya ke Vet (14 November 2015). Kondisinya sudah semakin parah. Selain tidak mau makan sama sekali, muntah dan diarenya semakin berkelanjutan. Hasil konsultasi dan pemeriksaan, Vet mengatakan kalau si Bocil kemungkinan besar terkena virus Panleukopenia!
DUAAARRRR!!
Buat penyayang kucing, Panleukopenia (Cat Distemper) adalah sebuah kata yang sangat mengerikan; mimpi buruk yang paling buruk. Bagaimana tidak, virus ini begitu mematikan dan belum ada obat apapun yang dapat menangkalnya. Kucing yang terjangkit virus ini akan sulit sekali untuk disembuhkan dan selalu berujung pada ... kematian. Hiks.
Apa itu Panleukopenia? Silakan baca selengkapnya di sini.
“Si Bocil sudah divaksin belum, ya?” tanya Vet bingung. Kucing yang sudah divaksin cenderung lebih kebal terhadap virus ini.
Saya jawab belum. Dulu, saya sempat membawa si Bocil untuk vaksinasi. Ternyata, dia malah terkena scabbies (tertular kucing liar yang sering mampir ke rumah meminta makan). Akhirnya Vet memutuskan untuk perawatan menyembuhkan scabbiesnya dulu sebelum vaksin. Selama sebulan Si Bocil mendapatkan suntikan anti scabbies (4 kali suntik). Tiba jadwal vaksin, kondisi keuangan saya yang tidak memungkinkan karena saat itu sedang banyak sekali pengeluaran. Ujung-ujungnya, si Bocil keburu hamil dan saya pikir, kucing hamil tidak boleh divaksin. Sok tahu memang, karena menurut Vet, kucing dengan kehamilan muda masih bisa dilakukan vaksinasi. *jeduk-jeduk*
Panleukopenia positif mengakibatkan keguguran pada janin si Bocil. Setelah diinfus beberapa jam, dibersihkan kotoran di sebagian besar bulunya bagian belakang, saya membawa si Bocil pulang dengan perasaan lemas dan sangat bersalah. Bayangan saya, kami akan segera kehilangan si Bocil tak lama lagi. Istri dan anak saya sudah mulai menangis. Dokter tidak ingin menyembunyikan masalah ini agar kami tidak terlalu banyak berharap dan mempersiapkan kondisi terburuk yang mungkin terjadi. Kucing penderita Panleukopenia biasanya hanya bisa bertahan beberapa hari saja. :(
Perasaan berdosa (karena tidak melakukan vaksinasi lebih awal) membuat saya googling tentang Panleukopenia sebanyak-banyaknya. Hasilnya, saya semakin lemas dan hilang harapan. Judul tulisan yang saya temukan di google seringkali membuat saya bergidik.
Gustiii ... gitu-gitu amat ya bikin judul tulisan? Dan saya membesarkan hati; masih ada harapan 10% bagi si Bocil. Begitu pula saat membaca tulisan lain yang berbeda, yang menulis 85% kucing penderita Panleukopenia akan mati. Saya membesarkan hati lagi, kemungkinannya meningkat menjadi 15% bagi Bocil.
Saya browsing kembali, keluar-masuk forum-forum pecinta kucing yang membahas tentang penyakit ini, membaca puluhan artikel yang isinya lagi-lagi tak jauh beda, membaca kesedihan para penyayang kucing yang ditinggalkan kucing kesayangannya. Hingga akhirnya saya terdampar di blog ini.
Di sana saya menemukan sebuah harapan. Seseorang berbagi cerita kalau kucingnya yang mengidap virus Panleukopenia dapat diselamatkan! Ia menuliskan perjuangannya menyelamatkan si Cemong (kucingnya) untuk kembali sembuh. Saya baca artikelnya, saya print untuk dijadikan panduan menyelamatkan si Bocil.
Kucing penderita Panleukopenia hanya mengandalkan pada kekebalan tubuhnya untuk bisa sembuh. Masalahnya, dalam kondisi kritis seperti itu, nafsu makannya benar-benar sudah hilang! Selezat apapun makanannya, dan semahal apapun, kucing sama sekali tidak akan tertarik. Yang harus diupayakan adalah bagaimana caranya agar makanan itu bisa masuk!
Dokter membekali saya dengan obat anti muntah dan vitamin untuk Bocil. Untuk asupan makanannya, vet menyarankan saya memberikan a/d Feline Canine, makanan khusus untuk kucing yang sakit berat.
“Paksakan si Bocil untuk makan. Kalau perlu, suapi dengan tangan atau menggunakan pipet/spouit ke mulutnya,” kata vet.
Dan perjuangan itu tidak pernah mudah. Pemberian obat dan makanan butuh perjuangan tersendiri. Saya harus memaksa si Bocil membuka mulutnya untuk melesakkan obat dan makanan berkali-kali. Meski tubuhnya lemah, dia masih kuat untuk menggigit atau mencakar. Tangan saya penuh cakaran dan berdarah-darah. Kadang istri saya membantu memegang badan si Bocil saat saya memaksanya membuka mulut. Bocil harus makan!
Berdasarkan artikel dari pemilik si Cemong yang selamat dari virus ini, saya coba ikuti kiat-kiat yang dilakukannya. Setiap hari saya memberikan :
• Obat dokter (anti muntah & vitamin) - 2 kali sehari (atau sesuai dosis masing-masing)
• Madu dicampur kuning telur – 2 kali sehari (pagi dan malam). Suapkan menggunakan pipet/spouit.
• Makanan yang diencerkan (saya pakai a/d Feline Canine) – 2 kali sehari (bagusnya sih 3 kali sehari). Karena nutrisinya cukup tinggi, saya memberikan satu sendok makan yang diencerkan dengan air. Disuapkan menggunakan pipet/spouit.
Bulu si Bocil mulai bau. Leleran makanan yang menempel pada bulunya membuat bulunya kusut dan kotor. Belum lagi bau dari kotoran yang menempel pada bagian belakang bulunya (dia sudah tidak sanggup lagi untuk menjilati bulunya sendiri). Setidaknya dua kali sehari saya harus memandikan bagian belakang badannya biar tidak terlalu bau dan dikerumuni lalat. Hiks ... sumpah, saya tidak tega melihat lalat-lalat mengerubunginya saat si Bocil saya jemur biar bulunya kering. Kalau sudah begitu, saya bawa masuk lagi dan mengeringkan bulunya dengan hairdryer.
Hari ketiga (16 November), saya kembali membawa Bocil ke Vet. Badannya masih lemas, ditambah darah yang mengalir terus dari vaginanya. Kalau memang virus ini menyebabkan keguguran, janin di dalam perutnya belum keluar sampai saat itu. Bagaimana kalau membusuk di dalam rahimnya dan menyebabkan bakteri penyakit tambahan? Huwaaa ...
Tak banyak yang bisa Vet lakukan selain memberikan antibiotik. Suntik mulas untuk mengeluarkan janin sudah dilakukan pada pertemuan sebelumnya (dan belum ada efeknya). Saya minta Bocil untuk dirawat di petshop tersebut saja. Apa kata dokter?
“Infus hanya membantu kekurangan cairan sementara saja. Apakah selama ini obat dan makanan masuk?”
Saya mengangguk. Meskipun dipaksa, Bocil mau menelan apa yang disuapkan ke mulutnya.
“Saran saya, Bocil sebaiknya dirawat di rumah saja. Yang jauh lebih dibutuhkannya sekarang adalah kasih sayang dari pemiliknya. Semakin besar dia melihat kasih sayang Bapak sekeluarga, semakin besar keinginannya untuk kembali sembuh.”
Ucapan itu meruntuhkan harapan saya. Dokter sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Di sisi lain, kalau memang umur Bocil pendek, dia harus tahu kalau kami sangat menyayanginya. Kami bawa Bocil pulang. Perhatian kami berikan full dari seluruh keluarga. Anak-anak saya minta untuk mengabaikan bau dan penampilan Bocil yang kusut. Bocil harus sering diajak bicara dan diusap-usap. Kucing penderita Panleukopania selain tidak nafsu makan, juga akan lebih banyak tidur sepanjang hari dan tidak tertarik untuk beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena tubuhnya yang lemas.
Setiap hari saya melakukan rutinitas menyuapinya. Jam istirahat kantor saya pulang (untungnya kantor saya tidak terlalu jauh) hanya untuk menyuapinya lagi atau menyeka bulu kotornya. Malam pun rutinitas itu berlanjut. Aktivitas saya berhenti total hanya untuk si Bocil. Saya tidak keberatan harus menjumput kotorannya dan mengepel rumah berkali-kali. Saya mencuci tangan berpuluh kali setiap hari. Entah sudah berapa kotak tisu kering dan tisu basah yang saya beli.
Yang tidak pernah memelihara binatang pasti melihat kelakuan saya dengan heran. Seperti yang disampaikan salah seorang tetangga saya. Untuk apa saya (dan kami) mati-matian seperti itu. Kucing mati kan bisa beli lagi? Buat apa repot-repot? Tapi, untuk penyayang binatang pasti akan sangat mengerti. Kucing (atau binatang lain pun) tidak lagi sekadar piaraan. Mereka sudah menjadi bagian keluarga kami. Jadi, abaikan saja omongan mereka daripada saya napsu lalu nabok!
Kalau mikir cape, tentu saya cape. Tapi saya tidak tega membayangkan anak-anak (bahkan istri saya) apabila kehilangan kucing kesayangannya. Setiap hari si Bocil selalu jadi rebutan untuk dipeluk dan diciumi. Setiap hari anak-anak selalu bertanya; “Ayah, kapan si Bocil sembuh?”, “Kapan si Bocil boleh tidur di kasur lagi?”, “Ayah, si Bocil nggak bakalan mati, kan?”. Hiks.
Hari ke lima (18 November) sejak masa kritis, Bocil sudah bisa jalan-jalan keliling rumah. Muntah dan diarenya sudah berhenti (meski pupnya masih lembek). Dia sudah bisa minum sendiri dan pup di litter box-nya. Dia juga sudah punya tenaga menjilati bulu-bulunya. Sebuah perkembangan yang membuat saya semakin memiliki harap (meski masih tetap belum tenang). Sembuh! Sembuh! Sembuh!
Sore itu juga, saya coba merebus ikan laut yang kebetulan istri saya beli untuk makan malam. Saya potong sedikit bagian ekornya, lalu direbus sebentar. Dengan penuh harap, saya sodorkan ke hidung si Bocil. Dia mengendus sebentar, lalu melengos. Saya manyun. Cape-cape ngerebus ikan, eh malah dicuekin. Penasaran, saya cuil sedikit ikan, lalu paksakan masuk mulutnya. Eh, dikunyah! Tak lama si Bocil mengendus-endus dan seperti mencari lagi. Saya terbelalak, lalu menyodorkan piring makannya berisi cuilan daging ikan. Dan ternyata ... di makan! Huwaaaa .... alhamdulillah. *joged-joged*. Saya langsung ultimatum istri agar menu makan malam segera diganti, karena ikan kembung yang dibeli akan dijadikan stok makanan si Bocil! Hehehe.
Perjuangan saya mulai berbuah. Bocil tidak perlu disuapi lagi. Setiap hari saya berikan ikan laut yang direbus, setengah potong ikan saja untuk satu kali makan. Obat-obatan (kecuali anti muntah) masih dilanjutkan. Tiga hari menu makan Bocil tidak berubah, hingga saya pikir bakalan gawat kalau jadi kebiasaan makan ikan terus. Tidak praktis. Wet food kalengan jauh lebih praktis dan ekonomis. Akhirnya saya sodorkan Pet Forrest kalengan yang biasa dikonsumsi. Hasilnya, dia hanya mencicip secuil lalu ditinggalkan. Saya coba beli wetfood merk Whiskas Junior, dengan pertimbangan lebih halus dan aromanya lebih menyengat. Ternyata dicuekin juga. Yasudahlah. :D
Etapi, besoknya ternyata dia mau! Dua sendok makan penuh wetfood dihabiskan dalam sekejap. Hari itu setiap kali dia mengeong lapar, saya berikan satu sendok. Nafsu makannya sudah kembali! Yiaaaay. Masalah dia belum mau dryfood, itu urusan belakangan. Tar aja dipikirin ngatasinya. Hehehe.
Oya, janin di perut si Bocil akhirnya keluar pada hari Jumat (20 November). Saat pulang jam istirahat, saya dihadapkan seekor janin yang sudah tergeletak di lantai kamar dengan darah berceceran. Besok paginya, seekor lagi keluar setelah si Bocil mengeong-ngeong dan seperti sedang mencari tempat untuk melahirkan. Akhirnya saya pindahkan ke dalam kandang dan saya pijat-pijat perutnya. Tak lama lahir pula seekor anaknya! Horee .. saya lulus sebagai bidan.
Sayang kedua anaknya lahir dalam keadaan tak bernyawa. Hiks ... padahal kedua janin itu sudah berbentuk utuh. Seandainya tidak terkena virus ini, dalam dua minggu ke depan tentu saya sudah memiliki dua kitten lucu. Huhuhu. Ah sudahlah, yang penting Bocil sudah sehat kembali. Itu yang paling penting bukan?
Kemarin (23 November), nafsu makan si Bocil kembali lagi sepenuhnya. Dia akhirnya mau menyentuh kembali dryfoodnya. Alhamdulillah ... sehat! Sehat! Sehat! Insya Allah, Sabtu ini si Bocil akan ketemu Vet lagi untuk vaksinasi. Mencegah memang jauh lebih baik (dan lebih murah) daripada menyembuhkan. Dan saya tidak ingin mengalami hal yang sama kedua kalinya.
Buat teman-teman yang mengalami hal yang sama, percayalah, meskipun tipis, harapan itu selalu ada. Jangan panik dan pasrah begitu saja. Perjuangan dan pengorbanan pasti dibutuhkan, karena kita tentu tidak akan menyerahkan nyawa kucing kesayangan begitu saja, bukan? Kalaupun memang sudah waktunya, setidaknya kita sudah memberikan kasih sayang sepenuhnya untuk mereka. Tetap semangat!
Bocil sebelum sakit |
Saya akhirnya memberikan Blackwood saja tanpa campuran. Tapi, kotorannya tetap lembek, dan semakin parah! Muntahnya semakin sering terjadi, dan diarenya semakin akut. Si Bocil sudah tidak mengenal lagi litter box nya. Ia buang kotoran tanpa bisa ditahan lagi. Muntahan dan kotoran berceceran di mana-mana. Nafsu makannya pun perlahan-lahan menghilang. Dia hanya mau makan sedikit wetfood dan tidak menyentuh dry foodnya sama sekali.
Bocil saat sakit. Bulunya kotor sekali |
Yang membuat saya panik adalah; apakah ini tanda-tanda si Bocil keguguran? Ya, saat itu si Bocil sedang hamil beberapa minggu. Perkiraan, awal Desember ini dia melahirkan. Kecurigaan saya semakin bertambah ketika keluar cairan darah dari vaginanya terus menerus. Huwaaa ... ini adalah kehamilan pertama yang sudah kami tunggu. Setelah beberapa kali menahan birahi kawinnya karena masih terlalu muda, awal Oktober saya akhirnya mengawinkan si Bocil dengan jantan dari ras Himalayan.
Panik membuat saya segera membawanya ke Vet (14 November 2015). Kondisinya sudah semakin parah. Selain tidak mau makan sama sekali, muntah dan diarenya semakin berkelanjutan. Hasil konsultasi dan pemeriksaan, Vet mengatakan kalau si Bocil kemungkinan besar terkena virus Panleukopenia!
DUAAARRRR!!
Buat penyayang kucing, Panleukopenia (Cat Distemper) adalah sebuah kata yang sangat mengerikan; mimpi buruk yang paling buruk. Bagaimana tidak, virus ini begitu mematikan dan belum ada obat apapun yang dapat menangkalnya. Kucing yang terjangkit virus ini akan sulit sekali untuk disembuhkan dan selalu berujung pada ... kematian. Hiks.
Apa itu Panleukopenia? Silakan baca selengkapnya di sini.
“Si Bocil sudah divaksin belum, ya?” tanya Vet bingung. Kucing yang sudah divaksin cenderung lebih kebal terhadap virus ini.
Saya jawab belum. Dulu, saya sempat membawa si Bocil untuk vaksinasi. Ternyata, dia malah terkena scabbies (tertular kucing liar yang sering mampir ke rumah meminta makan). Akhirnya Vet memutuskan untuk perawatan menyembuhkan scabbiesnya dulu sebelum vaksin. Selama sebulan Si Bocil mendapatkan suntikan anti scabbies (4 kali suntik). Tiba jadwal vaksin, kondisi keuangan saya yang tidak memungkinkan karena saat itu sedang banyak sekali pengeluaran. Ujung-ujungnya, si Bocil keburu hamil dan saya pikir, kucing hamil tidak boleh divaksin. Sok tahu memang, karena menurut Vet, kucing dengan kehamilan muda masih bisa dilakukan vaksinasi. *jeduk-jeduk*
Panleukopenia positif mengakibatkan keguguran pada janin si Bocil. Setelah diinfus beberapa jam, dibersihkan kotoran di sebagian besar bulunya bagian belakang, saya membawa si Bocil pulang dengan perasaan lemas dan sangat bersalah. Bayangan saya, kami akan segera kehilangan si Bocil tak lama lagi. Istri dan anak saya sudah mulai menangis. Dokter tidak ingin menyembunyikan masalah ini agar kami tidak terlalu banyak berharap dan mempersiapkan kondisi terburuk yang mungkin terjadi. Kucing penderita Panleukopenia biasanya hanya bisa bertahan beberapa hari saja. :(
Perasaan berdosa (karena tidak melakukan vaksinasi lebih awal) membuat saya googling tentang Panleukopenia sebanyak-banyaknya. Hasilnya, saya semakin lemas dan hilang harapan. Judul tulisan yang saya temukan di google seringkali membuat saya bergidik.
90% kucing penderita panleukopania akan mati!
Gustiii ... gitu-gitu amat ya bikin judul tulisan? Dan saya membesarkan hati; masih ada harapan 10% bagi si Bocil. Begitu pula saat membaca tulisan lain yang berbeda, yang menulis 85% kucing penderita Panleukopenia akan mati. Saya membesarkan hati lagi, kemungkinannya meningkat menjadi 15% bagi Bocil.
Saya browsing kembali, keluar-masuk forum-forum pecinta kucing yang membahas tentang penyakit ini, membaca puluhan artikel yang isinya lagi-lagi tak jauh beda, membaca kesedihan para penyayang kucing yang ditinggalkan kucing kesayangannya. Hingga akhirnya saya terdampar di blog ini.
Di sana saya menemukan sebuah harapan. Seseorang berbagi cerita kalau kucingnya yang mengidap virus Panleukopenia dapat diselamatkan! Ia menuliskan perjuangannya menyelamatkan si Cemong (kucingnya) untuk kembali sembuh. Saya baca artikelnya, saya print untuk dijadikan panduan menyelamatkan si Bocil.
Kucing penderita Panleukopenia hanya mengandalkan pada kekebalan tubuhnya untuk bisa sembuh. Masalahnya, dalam kondisi kritis seperti itu, nafsu makannya benar-benar sudah hilang! Selezat apapun makanannya, dan semahal apapun, kucing sama sekali tidak akan tertarik. Yang harus diupayakan adalah bagaimana caranya agar makanan itu bisa masuk!
Dokter membekali saya dengan obat anti muntah dan vitamin untuk Bocil. Untuk asupan makanannya, vet menyarankan saya memberikan a/d Feline Canine, makanan khusus untuk kucing yang sakit berat.
“Paksakan si Bocil untuk makan. Kalau perlu, suapi dengan tangan atau menggunakan pipet/spouit ke mulutnya,” kata vet.
Dan perjuangan itu tidak pernah mudah. Pemberian obat dan makanan butuh perjuangan tersendiri. Saya harus memaksa si Bocil membuka mulutnya untuk melesakkan obat dan makanan berkali-kali. Meski tubuhnya lemah, dia masih kuat untuk menggigit atau mencakar. Tangan saya penuh cakaran dan berdarah-darah. Kadang istri saya membantu memegang badan si Bocil saat saya memaksanya membuka mulut. Bocil harus makan!
Berdasarkan artikel dari pemilik si Cemong yang selamat dari virus ini, saya coba ikuti kiat-kiat yang dilakukannya. Setiap hari saya memberikan :
• Obat dokter (anti muntah & vitamin) - 2 kali sehari (atau sesuai dosis masing-masing)
• Madu dicampur kuning telur – 2 kali sehari (pagi dan malam). Suapkan menggunakan pipet/spouit.
• Makanan yang diencerkan (saya pakai a/d Feline Canine) – 2 kali sehari (bagusnya sih 3 kali sehari). Karena nutrisinya cukup tinggi, saya memberikan satu sendok makan yang diencerkan dengan air. Disuapkan menggunakan pipet/spouit.
Bulu si Bocil mulai bau. Leleran makanan yang menempel pada bulunya membuat bulunya kusut dan kotor. Belum lagi bau dari kotoran yang menempel pada bagian belakang bulunya (dia sudah tidak sanggup lagi untuk menjilati bulunya sendiri). Setidaknya dua kali sehari saya harus memandikan bagian belakang badannya biar tidak terlalu bau dan dikerumuni lalat. Hiks ... sumpah, saya tidak tega melihat lalat-lalat mengerubunginya saat si Bocil saya jemur biar bulunya kering. Kalau sudah begitu, saya bawa masuk lagi dan mengeringkan bulunya dengan hairdryer.
Hari ketiga (16 November), saya kembali membawa Bocil ke Vet. Badannya masih lemas, ditambah darah yang mengalir terus dari vaginanya. Kalau memang virus ini menyebabkan keguguran, janin di dalam perutnya belum keluar sampai saat itu. Bagaimana kalau membusuk di dalam rahimnya dan menyebabkan bakteri penyakit tambahan? Huwaaa ...
Tak banyak yang bisa Vet lakukan selain memberikan antibiotik. Suntik mulas untuk mengeluarkan janin sudah dilakukan pada pertemuan sebelumnya (dan belum ada efeknya). Saya minta Bocil untuk dirawat di petshop tersebut saja. Apa kata dokter?
“Infus hanya membantu kekurangan cairan sementara saja. Apakah selama ini obat dan makanan masuk?”
Saya mengangguk. Meskipun dipaksa, Bocil mau menelan apa yang disuapkan ke mulutnya.
“Saran saya, Bocil sebaiknya dirawat di rumah saja. Yang jauh lebih dibutuhkannya sekarang adalah kasih sayang dari pemiliknya. Semakin besar dia melihat kasih sayang Bapak sekeluarga, semakin besar keinginannya untuk kembali sembuh.”
Ucapan itu meruntuhkan harapan saya. Dokter sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Di sisi lain, kalau memang umur Bocil pendek, dia harus tahu kalau kami sangat menyayanginya. Kami bawa Bocil pulang. Perhatian kami berikan full dari seluruh keluarga. Anak-anak saya minta untuk mengabaikan bau dan penampilan Bocil yang kusut. Bocil harus sering diajak bicara dan diusap-usap. Kucing penderita Panleukopania selain tidak nafsu makan, juga akan lebih banyak tidur sepanjang hari dan tidak tertarik untuk beraktivitas seperti biasa. Mungkin karena tubuhnya yang lemas.
Setiap hari saya melakukan rutinitas menyuapinya. Jam istirahat kantor saya pulang (untungnya kantor saya tidak terlalu jauh) hanya untuk menyuapinya lagi atau menyeka bulu kotornya. Malam pun rutinitas itu berlanjut. Aktivitas saya berhenti total hanya untuk si Bocil. Saya tidak keberatan harus menjumput kotorannya dan mengepel rumah berkali-kali. Saya mencuci tangan berpuluh kali setiap hari. Entah sudah berapa kotak tisu kering dan tisu basah yang saya beli.
Yang tidak pernah memelihara binatang pasti melihat kelakuan saya dengan heran. Seperti yang disampaikan salah seorang tetangga saya. Untuk apa saya (dan kami) mati-matian seperti itu. Kucing mati kan bisa beli lagi? Buat apa repot-repot? Tapi, untuk penyayang binatang pasti akan sangat mengerti. Kucing (atau binatang lain pun) tidak lagi sekadar piaraan. Mereka sudah menjadi bagian keluarga kami. Jadi, abaikan saja omongan mereka daripada saya napsu lalu nabok!
Kalau mikir cape, tentu saya cape. Tapi saya tidak tega membayangkan anak-anak (bahkan istri saya) apabila kehilangan kucing kesayangannya. Setiap hari si Bocil selalu jadi rebutan untuk dipeluk dan diciumi. Setiap hari anak-anak selalu bertanya; “Ayah, kapan si Bocil sembuh?”, “Kapan si Bocil boleh tidur di kasur lagi?”, “Ayah, si Bocil nggak bakalan mati, kan?”. Hiks.
Hari ke lima (18 November) sejak masa kritis, Bocil sudah bisa jalan-jalan keliling rumah. Muntah dan diarenya sudah berhenti (meski pupnya masih lembek). Dia sudah bisa minum sendiri dan pup di litter box-nya. Dia juga sudah punya tenaga menjilati bulu-bulunya. Sebuah perkembangan yang membuat saya semakin memiliki harap (meski masih tetap belum tenang). Sembuh! Sembuh! Sembuh!
Sore itu juga, saya coba merebus ikan laut yang kebetulan istri saya beli untuk makan malam. Saya potong sedikit bagian ekornya, lalu direbus sebentar. Dengan penuh harap, saya sodorkan ke hidung si Bocil. Dia mengendus sebentar, lalu melengos. Saya manyun. Cape-cape ngerebus ikan, eh malah dicuekin. Penasaran, saya cuil sedikit ikan, lalu paksakan masuk mulutnya. Eh, dikunyah! Tak lama si Bocil mengendus-endus dan seperti mencari lagi. Saya terbelalak, lalu menyodorkan piring makannya berisi cuilan daging ikan. Dan ternyata ... di makan! Huwaaaa .... alhamdulillah. *joged-joged*. Saya langsung ultimatum istri agar menu makan malam segera diganti, karena ikan kembung yang dibeli akan dijadikan stok makanan si Bocil! Hehehe.
Akhirnya mau makan sendiri! Yiaay .. |
Perjuangan saya mulai berbuah. Bocil tidak perlu disuapi lagi. Setiap hari saya berikan ikan laut yang direbus, setengah potong ikan saja untuk satu kali makan. Obat-obatan (kecuali anti muntah) masih dilanjutkan. Tiga hari menu makan Bocil tidak berubah, hingga saya pikir bakalan gawat kalau jadi kebiasaan makan ikan terus. Tidak praktis. Wet food kalengan jauh lebih praktis dan ekonomis. Akhirnya saya sodorkan Pet Forrest kalengan yang biasa dikonsumsi. Hasilnya, dia hanya mencicip secuil lalu ditinggalkan. Saya coba beli wetfood merk Whiskas Junior, dengan pertimbangan lebih halus dan aromanya lebih menyengat. Ternyata dicuekin juga. Yasudahlah. :D
Etapi, besoknya ternyata dia mau! Dua sendok makan penuh wetfood dihabiskan dalam sekejap. Hari itu setiap kali dia mengeong lapar, saya berikan satu sendok. Nafsu makannya sudah kembali! Yiaaaay. Masalah dia belum mau dryfood, itu urusan belakangan. Tar aja dipikirin ngatasinya. Hehehe.
Oya, janin di perut si Bocil akhirnya keluar pada hari Jumat (20 November). Saat pulang jam istirahat, saya dihadapkan seekor janin yang sudah tergeletak di lantai kamar dengan darah berceceran. Besok paginya, seekor lagi keluar setelah si Bocil mengeong-ngeong dan seperti sedang mencari tempat untuk melahirkan. Akhirnya saya pindahkan ke dalam kandang dan saya pijat-pijat perutnya. Tak lama lahir pula seekor anaknya! Horee .. saya lulus sebagai bidan.
Sayang kedua anaknya lahir dalam keadaan tak bernyawa. Hiks ... padahal kedua janin itu sudah berbentuk utuh. Seandainya tidak terkena virus ini, dalam dua minggu ke depan tentu saya sudah memiliki dua kitten lucu. Huhuhu. Ah sudahlah, yang penting Bocil sudah sehat kembali. Itu yang paling penting bukan?
Sudah bisa bobo dengan centil lagi ^_^ |
Kemarin (23 November), nafsu makan si Bocil kembali lagi sepenuhnya. Dia akhirnya mau menyentuh kembali dryfoodnya. Alhamdulillah ... sehat! Sehat! Sehat! Insya Allah, Sabtu ini si Bocil akan ketemu Vet lagi untuk vaksinasi. Mencegah memang jauh lebih baik (dan lebih murah) daripada menyembuhkan. Dan saya tidak ingin mengalami hal yang sama kedua kalinya.
Buat teman-teman yang mengalami hal yang sama, percayalah, meskipun tipis, harapan itu selalu ada. Jangan panik dan pasrah begitu saja. Perjuangan dan pengorbanan pasti dibutuhkan, karena kita tentu tidak akan menyerahkan nyawa kucing kesayangan begitu saja, bukan? Kalaupun memang sudah waktunya, setidaknya kita sudah memberikan kasih sayang sepenuhnya untuk mereka. Tetap semangat!